"Apa penyebab kambuhnya, sus? Bukankah tidak ada masalah baik pengobatan atau pun terapi pasien selama ini?" tanya Bela pada Jeni yang ikut berlari di sampingnya.
"Ya Dok. Pasien tiba-tiba mengamuk saat seorang wanita paruh baya menjenguknya. Sepertinya wanita itu yang membuat pasien kambuh."
Wanita paruh baya? Ya Allah, kalau wanita itu sumber penyakit Bara, semoga pria itu bisa segera disembuhkan. Bela mengangguk sebelum memperlambat langkah. Mereka sudah sampai di depan pintu ruang perawatan Bara.
"Bagaimana mungkin mama tidak peduli saat kamu sakit?!" Bela mengernyit merasa mendengar suara bentakan wanita yang familiar. Begitu masuk, ruangan itu sudah berantakan.
"AAARGHH!!" Jeni dan Bela reflek mengelak saat Bara melemparkan sesuatu ke dinding. "SUDAH KU BILANG AKU TIDAK MEMBUTUHKANNYA!"
Bela menghela nafas sebelum berujar. "Siapkan bius untuk pasien." Jeni yang segera beranjak. Lalu beralih ke wanita yang berdiri membelakanginya. "Ibu tidak terluka?" tanyanya menyentuh bahu wanita itu.
Saat wanita yang mengenakan dress selutut dengan atasan terbuka itu berbalik, Bela nyaris tidak bisa menutup mulutnya. Dia tidak tahu harus bersyukur atau malah memaki karena mengenali wanita itu. Wanita yang masih secantik jalang perayu suami orang itu balas menatapnya dengan ekspresi lebih kaget. Sepertinya juga masih mengenalinya.
Bela melepaskan tangan dari pundak orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam berusaha menahan keinginan memaki yang sudah diujung tenggorokan.
Mama? Tadi wanita itu menyebut dirinya sebagai mama pada Bara kan? Oh, Bela benar-benar merasa dunia begitu sempit. Dia baru menyadari, seharusnya tidak bahagia dengan kedatangan ayahnya yang tiba-tiba dan percaya pada penyesalan atau apa pun yang tersirat di matanya. Karena ternyata pria brengsek itu tidak datang sendirian.
Tawa sinis lolos dari mulutnya. Tentu saja dia tidak menganggap kedatangan keduanya hanya sebuah kebetulan apalagi takdir Tuhan. Bela nyaris menyeringai sambil mengelap telapak tangan bekas memegang bahu jalang itu.
"Ka-kamu—" mama Bara menutup mulut tidak bisa berkata-kata. Membuat Bela ingin muntah. Dia terus mengelap telapak tangannya hingga memerah saking jijiknya. Saat itu Jeni kembali.
"Dok, ini suntiknya." Bela segera mengambil jarum suntik berisi bius itu dan langsung membuka penutupnya dengan mulut sambil beranjak mendekati Bara.
"Bawa keluar orang yang tidak berkepentingan Sus!" suruhnya setengah membentak.
"Baik dok." Jeni kemudian mendekati wanita itu. "Ayo Bu. Dokter mau mengobati pasien."
"T-tungu. Saya—" ucapan wanita itu terputus karena Jeni menariknya keluar.
Bela menghela nafas sebelum beralih menatap Bara yang sejak tadi diam memandanginya. Melihat tatapan pria itu, Bela yakin sejak awalBara sudah mengetahui kalau dirinya adalah anak dari pria yang di rebut mamanya. Membuatnya semakin emosi.
"Duduk." Bela menggerakkan dagu ke ranjang dengan tatapan dingin. Bara hanya diam memandanginya beberapa saat.
"Aku bisa menjelaskan kalau kamu—"
"Aku bilang duduk." potongnya dengan gigi rapat.
Bara menghela nafas sebelum menurutinya duduk diatas ranjang. Pria itu tidak mengatakan apa pun saat Bela menarik lengan bajunya keatas. Ketika Bela mau menancapkan jarum suntik, Bara menahan tangannya.
"Apa kamu perlu membiusku? Aku masih bisa mengendalikan kesadaran ku Bela—"
"Dokter Bela. Saya adalah dokter anda. Jadi tolong saling menjaga sikap." Bela menekan setiap kata yang diucapkannya sebelum melepaskan tangan Bara dengan menghentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My lovely PATIENT
ChickLitQory Adisabela. Pskiater muda yang sedang menyelesaikan gelar Doctornya itu mendapat tugas akhir yang benar-benar tidak masuk akal, menurutnya. Yaitu menyembuhkan seorang CEO muda single dengan menjadi orang terdekatnya. Look the point, single d...