Pagi itu Bela dan Tami berjalan beriringan menuju mesin absen yang terletak di pintu khusus departemen kejiwaan sambil mengobrol seperti biasa.
"Ya ampuun, jadi sepatu yang sebelah lagi?" Tanya Tami setelah Bela menceritakan kejadian semalam.
"Nggak tahu dimana. Lagian males nyari. Percuma juga kan kalau ketemu. Yang sebelahnya udah hanyut di culik ombak," Bela mengacak sekilas rambutnya. Kebiasaan barunya setelah punya rambut pendek, kalau kesal.
"Ya nggak apa-apa kali. Buat penawar rindu," Bela mendadak menghentikan langkah menyadari perkataan Tami.
Iya-ya, kenapa dia nggak nyari yang satunya lagi? Seenggaknya dia bisa mengkoleksi yang sebelah dari pada nggak sama sekali. Sebegitunya ya Bel, cewek kalau kehilangan barang bagus apalagi mahal. Nggak relanya, nggak udah-udah.
Selain itu dia juga bisa ngobrol sama Dave lebih lama untuk mengenal pria itu lebih dekat kan? Mck!
Bela mendengus sambil menggeleng frustasi mengingat dia langsung bilang pulang gara-gara Dave mengatakan kalimat yang bisa membuatnya meleleh malam itu. Nggak tega menahan waktu pria itu lebih lama.
"Kenapa?" Tanya Tami ikut menghentikan langkah di sampingnya.
'Baru sadar, ngelewatin kesempatan dapet informasi dari Dave," jawabnya menghela nafas.
"Tenang masih ada tiga minggu lagi kok. Besok kan weekend. Tanya sama pak Haris dimana dia. Trus samperin deh," Tami memegang sebelah bahunya.
Ah, benar. Dia cuma perlu melakukan pertemuan selanjutnya untuk mendapatkan kesempatan itu lagi. mendadak dia mengingat perkataan Dave semalam, saya perlu nama kamu untuk pertemuan selanjutnya. Bela mengangguk-angguk menjawab Tami sebelum keduanya melanjutkan langkah.
Tinggal beberapa langkah lagi sampai didepan mesin absen, seseorang menyeruak ke tengah-tengah mereka. Bela dan Tami mengernyit karena lengan mereka di tabrak sesuatu yang kenyal.
"Ups. Nggak sengaja," kata dokter Sandra jelas pura-pura. Lalu memasukkan kartu absennya duluan.
"Sory ya. Saya duluan," kata dokter Sandra setelah berbalik sambil membusungkan dada dengan wajah nggak bersalah.
Tatapan Bela dan Tami teralihkan melihat ukuran dada Sandra yang terlihat lebih menonjol dari biasanya. Wanita itu pasti baru melakukan oplas payudara. Tahu mereka memperhatikan dadanya, lantas Sandra mengibaskan kerah jas dokternya membuat dada jumbo wanita itu semakin terpampang sebelum beranjak pergi. Bela dan Tami saling menoleh.
"Itunya yang nabrak lengan kita?" tanya Bela.
"Hoeek!" Bela dan Tami kompak mengusap-ngusap lengan bekas di tabrak payudara sintetis Sandra.
"Ihh...jijik banget Bel!" seru Tami masih mengusap-usap.
"Haha...aku apalagi," sahut Bela tertawa.
"Ya ampuun. Dia ngapain sih. Badannya kan udah ideal. Muka lagi, udah cakep. Penampilannya juga udah ala-ala model cover majalah playboy. Masih kurang puas juga?" tanya Tami heran.
"Haha..pacarnya kali yang kurang puas. Aku denger-denger gosipnya sih, dia punya pacar baru." jawab Bela teringat pembicaraan perawat saat di toilet.
Dokter Sandra, selain dikenal dokter seksi, juga dikenal paling totally kalau mendekati pria. Itu terbukti dari gandengannya yang bisa ganti-ganti dalam hitungan bulan terkadang hitungan minggu. Jadi nggak heran kalau ada kemungkinan Sandra oplas demi memuaskan pacar-pacarnya.
"Tuh Bel. Minta tips deketin laki-laki sama dia," kata Tami sambil memasukkan kartu absennya ke mesin. Sekarang gantian kartu Bela.
"Nggak ah. Nanti aku di jual lagi sama pacar-pacarnya buat biaya oplas bokong selanjutnya. Hihi.." keduanya langsung cekikan sambil berjalan ke ruangan masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
My lovely PATIENT
Literatura FemininaQory Adisabela. Pskiater muda yang sedang menyelesaikan gelar Doctornya itu mendapat tugas akhir yang benar-benar tidak masuk akal, menurutnya. Yaitu menyembuhkan seorang CEO muda single dengan menjadi orang terdekatnya. Look the point, single d...