Kata, Fakta, dan Fera

2K 177 12
                                    

Paris, 17 tahun.

Namira melangkahkan kakinya dengan gesit. Sepatu boot-nya terlihat mencolok karena warnanya yang berwarna kuning. Cewek itu menghela napas pelan saat sudah sampai di tempat tujuannya.

Namira memasukkan password apartemennya lalu pintu pun otomatis terbuka. Ia langsung bergegas ke dalam dan membanting tubuhnya pada sofa. Sepertinya, hari ini adalah hari yang sangat melelahkan.

Pagi sampai sore kuliah, dan Namira melanjutkan kegiatannya yaitu kerja part time di Toko Roti yang katanya, paling banyak digemari di Kota Paris ini. Seharusnya Namira pulang jam delapan malam, tapi karena ayah dari pemilik toko roti tersebut meninggal, jadinya semua karyawan dipulangkan pada jam setengah enam sore. Meski begitu, Namira tetap saja merasa lelah.

Huh! Bukannya kekurangan biaya, tetapi Namira hanya butuh banyak kegiatan saja supaya tidak ada waktu untuk melamunkan seseorang. Ya, siapa lagi kalau bukan Nadhif?

Bahkan, Marcel sudah melarangnya kerja part time karena takut adiknya itu kelelahan. Tapi, bukan Namira namanya jika cewek itu tidak bebal.

Namira langsung menoleh saat pintu terdengar membuka. Marcel. Ya, cowok itu kini ikut membantingkan tubunya di samping Namira. Sepertinya, Marcel juga merasakan lelahnya hari ini.

"Makan yuk? Lo masak nggak?"

Namira menepuk jidatnya. "Eh, yaampun! Lupa. Bentar, gue masakin dulu, ya."

Belum sempat Namira beranjak, tetapi tangan Marcel lebih dulu mencegahnya. "Gue lupa ngasih tau kalo bahan-bahan udah abis. Jadi sekarang kita makan di luar abis itu ke supermarket."

Namira ber-oh ria. Cewek itu mengangguk membuat Marcel beranjak dan diekori Namira dari belakang.

Setelah sampai di salah satu kafe, Marcel dan Namira memesan makanan, lalu memilih tempat duduk di luar kafe. Kata Namira sih, biar sekalian ngeliatin bule paris.

"Marcel, tolong jangan pernah ungkit-ungkit soal kejadian Namira tertembak itu. Mama nggak mau dia jadi kepikiran. Nanti kalo kuliahnya keganggu, emang kamu mau?"

Suara Nada kini terngiang di dalam pikiran Marcel.

"Tapi Namira juga perlu tau, Mah. Setelah kejadian itu, Namira nggak pernah tau gimana masa-masa kecilnya. Dia cuma tau kalo kita yang ngasih tau."

"Pokonya jangan!"

"Woy!"

Marcel tersentak kaget, membuat Namira tertawa. "Ngelamunin apaan sih? Pasti ngelamunin Milan, ya?"

"Nggak. Sotoy lu."

Fyi, ternyata Marcel diam-diam menyukai Milan. Dan sampai saat ini pun Marcel belum berani untuk mengatakannya pada Milan.

Sejujurnya Namira tidak percaya saat Marcel mengatakan kalau dia menyukai Milan. Tau sendiri-lah, Milan itu udah punya anak.

Tapi, namanya juga cinta ya mau gimana lagi?

"Gue masih heran kenapa lo suka sama Milan, sih?" tanya Namira kemudian.

Marcel mengedikkan bahunya. "Cinta nggak butuh alasan, yang jelas gue nyaman kalo deket sama Milan.

Namira hanya tersenyum. Tidak aneh sih, jika Marcel menyukai Milan. Jujur saja, Namira sudah curiga semenjak Marcel memberi tahu nama anak Milan dengan akhiran Aldino. Itu 'kan kepanjangan nama dari Marcel.

Tiba-tiba saja, Namira memegang dadanya kuat-kuat. Wajahnya memucat. Cewek itu meringis. "Aduh, Cel. Sa-sakit ..."

Mata Marcel terbelalak, ia langsung beranjak lalu berjongkok tepat di samping Namira. Marcel tau, jika sewaktu-waktu Namira akan merasakan hal ini.

Just YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang