Ekstra Chapter-1

2.3K 183 18
                                    

Jika Namira diberi pilihan untuk memilih antara ditusuk pisau atau bertemu dengan dia. Lebih baik Namira memilih opsi yang pertama. Tentu saja.

Karena bertemu dengan dia, lebih sakit daripada tertusuk pisau tepat pada perut Namira. Mungkin jika tertusuk pisau, rasa sakitnya hanya sementara kemudian Namira akan mengalami pingsan atau bahkan mati. Tetapi jika bertemu dia? Rasa sakit itu menyerang seluruh tubuh Namira terutama pada jantungnya. Dan sialnya, itu tidak bersifat sementara.

Selamanya.

Namira menghapus air matanya kembali dengan kasar. Entah sudah keberapa kalinya air matanya terjatuh dengan percuma. Ia selalu teringat dengan wajah orang itu. Matanya, hidungnya, suaranya, juga... Bibirnya.

Ah, mengingat itu Namira kembali merasa dilemparkan pada masa lalu yang suram.

Tiba-tiba saja seorang pramugari sudah berdiri di sampingnya, membuat Namira kembali menghapus air matanya cepat.

"Apa ada sesuatu yang kau inginkan, Nona?" tanya pramugari itu dengan bahasa inggris.

"Tidak ada, terima kasih."

"Tapi sedari tadi kau belum makan sama sekali."

"Aku akan bilang, jika aku mau," jawab Namira akhirnya, membuat pramugari itu tersenyum seraya mengangguk, lalu melenggang pergi.

Namira menghela napasnya perlahan.

Nadhif... Aku... Merindukanmu...

•••

Bandung, 19 tahun.

Sejak kedatangan Namira pukul delapan pagi sampai sekarang pukul tiga sore pun, Nada tidak henti-hentinya menanyakan keadaan Namira, membuat Namira sedari tadi terus saja mendengus geli.

"Mira baik-baik aja, Mah. Nggak usah lebay, deh."

Nada cemberut. "Bukan lebay, tapi Mama kangen." Nada mencomot keripik tempe pada toples yang berada di pangkuan Namira. "Eh? Kamu udah kasih tau Rena sama Dean kalo kamu pulang?"

Namira menggeleng sambil tersenyum.

"Aeh-aeh... Kasih tau dong. Masa sama sahabat sendiri nggak ngasih tau."

"Takut ganggu. Siapa tau aja mereka sibuk."

"Ya 'kan seenggaknya mereka tau kamu pulang, Namira."

Namira terkekeh. "Iya-iya," jawabnya. Cewek itu langsung mencari nomor Rena lalu menelponnya, sedangkan Nada kembali memfokuskan matanya pada layar televisi.

"Hallo, Mir? Ya-ampun! Masih inget lo sama gue? Kemana aja sih jarang nelpon?"

Namira tertawa. "Gue takut ganggu lo kuliah, Rena. Jadi gue nelpon kalo emang penting aja, ngikutin lo! Hahaha."

Rena mendecih di seberang sana. "Terus sekarang lo nelpon berarti ada yang penting dong?"

"Iya. Karena gue..." Namira menggantung ucapannya. Niatnya hanya ingin membuat Rena penasaran lalu merasa deg-degan. Sama seperti kejadian dua tahun yang lalu saat Rena menelpon Namira dengan nada menggantung.

Ah, lupakan.

"Gue apa? Lo kenapa?! Jangan dipotong-potong deh, Mir! Gue geregetan jadinya!"

Just YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang