Aku sampai di tempat ini tepat tiga puluh menit sesuai waktu yang ia berikan. Ada banyak sisa bahan dari kapal yang sudah mulai berkarat, aku memberhentikan mobilku dan menghubungi Pollux sekali lagi.
"Aku sudah disini."
"Oh, tentu saja aku tahu itu. Sekarang keluar dari mobilmu!" aku membuka kunci pintu dan masih diam di kursiku, "Jangan coba membohongiku, aku mengawasimu dari sini, Harry."
Aku melirik dari kaca depan mobil dan memang ada kamera pengintai disana, melirik ke tempat lainnya dan ada banyak. Dia memantauku, mau tak mau aku harus mengikuti perintahnya. Membuang pistol dari saku celanaku ke kursi penumpang di sampingku.
Tanpa senjata seperti perintahnya.
Aku keluar dari mobilku. Masih menaruh smartphone di telingaku, "Majulah dan berbelok ke kanan saat kau menemui ban-ban yang berserakan."
Aku berjalan dengan pelan-pelan, mengamati seluruh tempat ini. Memang aku tidak menemukan anak buah atau orang suruhan Pollux, atau mereka semua sedang bersembunyi untuk mengelabuiku?
Entahlah, siapa tahu?
Aku sudah berada di depan kumpulan ban-ban bekas, beberapa sudah meleleh bekas di bakar sepertinya. Berbelok ke kanan, berjalan. Kanan kiriku hanya menemui box-box bekas pengangkut barang yang sudah tidak terpakai lagi.
Aku sedikit takut membuat jantungku sedikit berpacu dengan cepat, "Ke kiri." Katanya barusan. Aku mematikan sambungan telepon lebih dulu. Bersandar pada box tua itu untuk meyakinkan diriku, apakah aku harus mundur atau tidak?
Aku sekarang menyesal menyadari bahwa aku telah meninggalkan pistol dari Ethan, seandainya aku masih menyimpannya setidaknya aku merasa cukup aman. Pollux bukanlah musuh yang mudah untuk aku hadapi.
Ketua geng kami saat itu bahkan menobatkan bahwa Pollux yang terkuat di antara yang lainnya. Ia paling jago dalam urusan kebut-kebutan motor gede. Aku membuang nafasku dan berbelok ke kiri.
Dia melambaikan tangannya padaku.
Aku menghampirinya dan berhenti setelah lima langkah. Menjaga jarakku dengannya, sekitar lima meter ia berhadapan denganku. Rasa takutku sudah hilang, jikapun aku harus mati di tangannya hari ini aku pikir tidak masalah. Ibuku sudah siuman, kondisinya akan membaik setelah satu atau dua minggu. Dan Ken, ia sudah terbebas dari jeratan rentenir itu. Aku bersumpah bahwa aku akan mati dengan tenang jika aku bisa mati bersamanya, dan semua masalah ini akan berakhir.
Mungkin ini akan menimbulkan luka yang mendalam bagi ibu dan juga Ken. Tidak sampai enam bulan setelah kematianku, kupikir Ken akan melupakanku dengan sendirinya. Ia akan bahagia ketika menemukan pria lain yang tidak memiliki masa lalu kelam sepertiku.
Ini sudah jam enam lebih, hampir jam tujuh petang, berarti keberangkatan Pollux sekitar setengah sembilan malam. Waktu yang pas, karena itu jam sibuk di jalan raya. Dia benar-benar menyusun strategi dengan bagus. Ia mendorong sebuah box kayu kepadaku. Menyuruhku untuk duduk dan berbicara padanya.
"Lama kita tidak bertemu..." Ucapku padanya.
Ia berjalan untuk mengambil minyak tanah dari botol dan menuangkannya ke dalam perapian. Membuat bara kayu yang tadinya hampir padam kini membara lagi. Ide bagus, jadi aku tidak akan mati karena kedinginan disini.
"Kupikir ini hanya beberapa waktu sejak terakhir kali kita bertemu. Kau yang selama ini menghindariku?" ia duduk dan menatapku tidak ada takutnya. Ada banyak bekas jahitan di sekitar wajahnya, tatonya yang bergambar singa masih berada di lengan atas kirinya.
"Dimana anak buahmu?" aku bertanya.
"Aku membunuh mereka semua." Bajingan gila, kau benar-benar tidak punya hati. Selama ini mereka semua rela tidak mengungkapkan keberadaanmu tadi kau malah membunuhnya, "Ya, jika aku tidak melakukan itu mereka akan memberitahu bahwa aku akan kabur dari tanah ini bukan?"
"Kau akan meninggalkan Amerika?"
Ia menggelengkan kepalanya, "Kau tidak perlu tahu kemana aku akan pergi, Harry." Ia mengambil botol bir dari bawah dan meneguknya, "Kau mau?"
"Tidak, terima kasih." Aku menggelengkan kepalaku.
"Bagaimana keadaan Ethan? Apa ia satu satunya orang dari kelompok kita yang bekerja untukmu?"
"Ethan tentu saja baik, aku merawatnya dengan baik." Aku merapatkan jaketku, uap keluar setiap aku membuka mulutku untuk berbicara, "Aku hanya bertemu dengan Ethan selama ini. Tapi aku mendengar kabar dari Ethan bahwa Jessica pindah ke London."
Pollux pernah berpacaran dengan Jessica untuk beberapa bulan. Saat kami ingin merampoknya Pollux justru jatuh cinta dengannya dan meniduri wanita menyedihkan itu. "Mark sering mengunjungiku di penjara dulu." Dia pemimpin kami, geng kami, "Dan aku bertemu Greg sekitar seminggu yang lalu..." Greg ada di sekitar MA? Atau Boston? Manchester?
Aku mengecek arlogi di tanganku dan menunjukan pukul delapan malam, kapal yang akan membawa Pollux sudah tiba. Kapal kecil dan sedikit rongsok, Pollux mengatakan pada nahkodanya bahwa ia harus menunggu di kapal dan harus bersiap untuk keberangkatan sebentar lagi.
Pollux berdiri, melempar sisa botol ke perapian, "Baiklah, ayo kita akhiri ini!" bahuku menurun, "Seperti katamu, ini tidak akan berakhir jika salah satu dari kita belum mati atau membusuk di penjara."
"Tanpa senjata, tentu saja." Aku mengangkat kedua tanganku seperti menyerah.
"Kau sudah mengucapkan wasiat terakhirmu pada ibu dan kekasihmu?"
"Tentu saja, aku melakukan itu hanya karena sewaktu waktu hal buruk terjadi padaku." Bersikap santai dan mencoba untuk tenang.
Aku segera menghindari Pollux dengan merendahkan tubuhku menghindar dari pukulan tangannya, aku segera menjauh darinya. Aku harus membunuhnya, aku akan membunuhmu hari ini.
Aku mendaratkan pukulanku di pipinya dan saat itu pula tubuhku hampir terlempar karena ia memukul tepat di perutku, pukulan pertama yang aku rasakan namun rasa sakit begitu terasa. Aku terjatuh dan saat itu Pollux menghapus darah tepat di sudut bibirnya.
"Pukulan yang bagus," Ucapnya dan ia melayangkan tendangan di kakiku membuat aku kembali kesakitan.
Aku segera bangkit, ia akan terus melakukan itu jika aku tetap disana. Aku kembali melayangkan pukulan padanya dan sayangnya pukulanku meleset. Pollux menghindar dan mengambil kayu dari perapian, bara api di ujung kayu ia arahkan padaku.
What the hell!
Ia mengatakan tanpa senjata.
Aku melirik ke belakang sesekali dan menemukan pipa besi di tanah, segera mengambilnya dan menodong ke arahnya untuk melindungi diriku.
Kami bertarung sudah lima belas menit atau lebih, aku tidak tahu.
Pollux menyerangku dan melukai tanganku membakar jaket di bagian lengan karena bara api dari kayunya. Saat itu pula aku menyerangnya, berusaha memukulnya sehingga ia terjatuh.
Saat itu aku mendengar suara barang yang terjatuh, mataku jatuh ke bawah dan melihat itu adalah sebuah pistol. Ia berbohong padaku, Pollux segera mengambilnya saat aku ingin merebut itu darinya.
"Kau bilang tanpa senjata."
"Siapa suruh kau mempercayaiku?"
Pollux menodongkan pistol di tangan kanannya dan balok kayu di tangan kirinya. Aku segera menyerangnya membuat kayu itu patah sehingga Pollux memegang pistol dengan kedua tangannya.
Jantungku rasanya ingin melompat saat itu juga. Dadaku naik turun seiring dengan nafasku yang mulai pendek.
NOTE!!
Just a few word,
hope you enjoy it, darl.
love, xxx.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE
FanfictionRank #451 in action pada 090117 Rank #67 in action pada 110117 Rank #62 in action pada 250117 Rank #346 in medical pada 110120 Rank #45 in action pada 160217 Highest Rank #9 in hendall pada 120120 Sebuah Fanfiction jenis AU yang menceritakan tentang...