Prolog

4.4K 429 2
                                    


Tetesan air mata itu sudah lama mengering. Entah sudah berapa lama ia terbaring diatas jasad kedua orang tuanya. Tak pernah terbayangkan dalam pikirannya bahwa ia akan menjadi seorang anak yatim piatu di usia yang terbilang masih dini.

11 tahun...

Dia baru saja mendapat ucapan dan kecupan hangat selamat ulangtahun dari ibunya sebulan yang lalu. Kini pelukan dan ciuman lembut sang ibu tak kan pernah bisa ia rasakan lagi.

Teringat akan hal itu, ia tiba-tiba saja duduk. Ditatapnya wajah sang ibu lekat.

Wajah cantik yang biasa merona merah ketika digoda, mengerutkan dahi dan bibir ketika marah, dan tersenyum lembut penuh kasih sayang padanya kini tak sedikitpun menyisakan jejak kehidupan.

Wajah cantik putih susu sang ibu kini berubah menjadi pucat pasi.

Perlahan anak kecil itu mengangkat tangan kanannya. Ujung-ujung jarinya yang gemetaran, mulai meraba wajah wanita yang terbaring di hadapannya. Mata, pipi, bibir, hidung, semua tak luput dari sentuhan lembut menggigilnya.

Mata hitam bening yang tak kalah indah dengan pemandangan langit di malam hari itu kini tertutup rapat. Tak lagi memancarkan cahaya yang menyejukan. Pipi halus yang biasa merona merah kini telah kehilangan warnanya. Bibir tipis merah jambu yang senantiasa tersenyum lembut kini menutup, berubah warna menjadi kebiruan. Tawa riang dan suara merdu yang biasa memanggil-manggil namanya kini bisu tak bersuara. Hidung kecil mancung yang menyempurnakan kecantikan ibunya itu kini sudah tak menghembuskan nafas lagi.

Ujung jari kecil itu sampai kearah rahang ibunya. Ketika ia membelai leher sang ibu ia merasakan sebuah tonjolan halus membentuk sebuah garis lurus semi horizontal yang melintang jelas, dari bawah dagunya terus lurus memanjang sampai hampir mencapai ujung bagian bawah telinga kirinya. Jejak dari sebuah luka lama yang masih membekas.

Jika dilihat dari jauh atau dilihat sepintas, luka itu memang tak terlihat. Tersembunyi dibawah dagunya. Hanya ia dan ayahnya yang mengetahui tentang luka sayatan yang cukup dalam tersebut. Dan sampai kini ajal menjemputnya. Tak sekalipun ibunya itu mau mengungkapkan alasan dibalik luka lama yang mengerikan itu.

Jari-jari kecil yang gemetaran itu terangkat. Tak kuasa lagi menjelajahi wajah ibunya. Ditatapnya lagi wajah ibu tercintanya itu. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Hingga pandangan matanya mengarah pada lengan kanan ibunya.

Jari-jari tangan ibunya digenggam oleh tangan seorang pria berbadan tinggi besar yang terbaring di sebelahnya. Mata anak itu mengarah pada si pemilik tangan yang menggenggam ibunya tersebut.

Kondisi pria itu tak jauh berbeda dengan kondisi ibunya. Terbaring di tanah dengan segumpal besar darah yang membanjiri jubahnya. Darah itu berasal dari luka tusuk yang menganga lebar di dadanya. Hampir mendekati jantungnya. Atau bahkan tepat mengenai jantungnya. Anak kecil itu tak tau pasti.

Di lihatnya wajah pria itu dalam-dalam. Wajahnya dingin. Kaku, tak menunjukan ekspresi apapun. Sama seperti semasa hidupnya dulu. Jarang sekali ia melihat pria itu tersenyum, apalagi tertawa.

Ingatan yang paling jelas mengenai pria ini adalah ekspresi muramnya. Alis hitam lebat yang membentuk garis lurus semi vertikal ke atas dan melengkung di bagian ujungnya itu sering sekali bertaut membentuk garis lurus, yang diakibatkan oleh gerakan dahi dan matanya yang mengkerut. Di ikuti oleh garis halus dari bibir yang melengkung ke bawah , sedikit tertutup oleh jambangnya yang lebat.

Ya... pria itu selalu saja mengeluarkan ekspresi seperti itu. Ekspresi murung, kesal, marah, entah pada siapa. Dan ekspresi yang paling sering ia 'tangkap' saat pria itu menatap ibunya adalah ekspresi yang penuh penyesalan. Seolah-olah ada ribuan kata yang tersangkut di tenggorokannya dan tak sanggup ia ungkapkan.

Anak itu kembali memusatkan pandangan. Mengembalikan ia dari kenangan sepintas tentang masa lalunya. Ditatapnya pria itu dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Matanya kembali terhenti di dada si pria berjambang itu. Melihat luka yang menganga di sana. Dia lalu teringat kejadian yang menyebabkan luka itu bisa berada di tubuh kekarnya.

Tiba-tiba saja air mata yang sudah lama mengering itu kembali mengalir.

Saat itu ia teringat pesan terakhir dari sang pria.

" Pergilah... lari sejauh mungkin... hiduplah dengan aman dan nyaman putri kecilku yang cantik. Hiduplah... Bao yu "

Perlahan bayangan awan gelap menutupi pandangannya. Kesadarannya seolah-olah terhisap oleh gumpalan awan tersebut. Lalu tiba-tiba saja seluruh tenaga yang tersisa pada diri anak kecil itu terkuras habis. Pandangannya menjadi gelap gulita. Tubuhnya kini terkulai lemas.

Anak kecil itu pun pingsan. Diikuti oleh jatuhnya tetesan air mata terakhir yang masih tersisa di pelupuk matanya.

Li Qiao Feng (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang