" Haiya... lama sekali kalian. Tak bisakah kalian pulang lebih awal? Nasi dan lauk pauknya kini mulai dingin" ujar Guang Jiao ketika melihat suami dan anaknya masuk ke rumah gubuk mereka. Baru saja pulang seusai latihan.
" Sudahlah.. jangan mengomel lagi. Ayo kita segera makan. Sebelum nasi dan lauknya benar-benar dingin " ujar jianguo.
Setelah membersihkan diri ketiga anggota keluarga Li itu duduk di sebuah meja bundar yang berada di ruang tengah. Tak jauh dari dapur. Ketiganya mulai memakan santapan siang yang sudah di siapkan Guang Jiao sebelumnya.
Seusai makan mereka menikmati pencuci mulut berupa buah-buahan yang baru dipetik dari pohon depan rumah.
" Sayang... beras kita sudah hampir habis, dan persedian koin kita semakin menipis. Sepertinya kita harus turun gunung dan pergi ke kota untuk menjual hasil buruan dan membeli kebutuhan pokok. Lagi pula Qiao feng sudah tumbuh semakin tinggi. Dia memerlukan beberapa baju dan sepasang alas kaki yang baru." Ujar Guang Jiao tiba-tiba memecah kesunyian di meja makan.
" Kalau begitu sore nanti aku dan Qiao Feng akan pergi berburu ke hutan dan memetik tanaman obat serta buah-buahan untuk di jual besok di pasar. Kau siapkan saja barang kebutuhan lain yang diperlukan untuk perbekalan kita pergi besok." Jawab Jianguo
Lalu tiba-tiba saja sebuah sorakan menggema di tengah ruang makan itu.
" YAHOOOOO.... Akhirnya kita pergi ke kota"
" HORE...HORE.... Yippieee... Ye...Ye... La...La...La...Yeyeye... La..La..La "
Qiao Feng kini sedang bersorak dan meloncat dari kursi. Merasa sangat gembira karena akhirnya saat-saat yang dia nantikan datang juga.
Turun gunung dan berjualan di pusat kota Jinhau adalah kegiatan rutin bulanan mereka.
Disaat orang tuanya berjualan, Qiao Feng biasanya pergi berkeliaran ke setiap penjuru kota. Menikmati suasana hiruk pikuk aktifitas orang-orang di jalan.
Ketika ada sebuah pertunjukan pinggir jalan, ia akan menjadi penonton yang berada di barisan paling depan. Ketika ada anak yang seusianya sedang bermain, ia akan ikut bermain. Meskipun mereka tidak saling mengenal. Lalu ketika ada sepasukan tentara yang bersiap pergi ke perbatasan, ia akan mengikuti mereka ke sepanjang jalan utama dengan sangat antusias.
Qiao Feng selalu mengagumi para tentara. Entah kenapa. Mungkin karena baju jirah mereka yang tampak kokoh, atau postur badan mereka yang tegap, atau karena beragam senjata keren yang mereka bawa. Entah yang manapun itu. yang jelas, setiap kali ia mendengar langkah kaki dari sepasukan tentara yang siap pergi berperang, dadanya selalu berdegup kencang. Otot-otonya menegang dan badannya bergetar menahan hasrat dari ketertarikan yang amat sangat. Ia ingin menjadi salah satu dari mereka. Berdiri di barisan terdepan melawan musuh. Menjadi pelindung masyarakat dan menjadi sosok pahlawan bagi negara.
Andai saja ia bukan seorang anak perempuan, ia pasti sudah meminta izin ayahnya untuk ikut pendidikan militer usia dini. Sayang, takdir kelahirannya ini tak mungkin dia lawan. Meskipun dari semenjak kecil, Qiao Feng kerap kali memakai baju lelaki dan mempunyai kemampuan beladiri yang cukup mumpuni, ia tetaplah seorang perempuan. Tidak ada dalam sejarahnya seorang perempuan ikut berperang. Jadi tak mungkin bagi dirinya untuk mewujudkan mimpi menjadi tentara garis depan. Itu benar-benar mimpi yang mustahil baginya.
Lagi pula ayah dan ibuya sepertinya 'tidak terlalu suka' dengan para tentara. Jika dilihat dari gerak-gerik mereka, kata 'takut' atau 'waspada' mungkin lebih cocok untuk di sebutkan.
Lihat saja contohnya. Jika kebetulan mereka berpapasan dengan para tentara, ayahnya akan menundukan kepalanya dalam-dalam. Menyembunyikan wajahnya dibalik topi jerami yang ia kenakan. Begitu pula dengan ibunya. Ibunya yang selalu menggunakan cadar tiap kali turun gunung akan menundukan kepalanya. Menyembunyikan sisa bagian wajahnya yang masih bisa terlihat.
Awalnya Qiao Feng tidak sadar dengan tindakan aneh kedua orang tuanya itu. lama kelamaan ia mulai sadar. Tapi tidak menanyakan alasan dibalik perilaku aneh kedua orang tuanya itu
Hanya satu yang menjadi tanda-tanya besar dalam hatinya.
Ayahnya itu seorang petarung yang kuat dengan postur badan yang gagah dan tinggi besar. Kenapa ia harus menunduk ketakutan melihat para tentara? Apa ilmu kungfu dan tubuh besarnya itu hanya berupa hiasan saja? Apa keberaniannya memang hanya sebesar biji kacang?
Qiao Feng tak yakin. Ayahnya itu seorang pemburu yang hebat. Ia bahkan pernah melawan seekor singa ketika dia dan ayahnya tidak sengaja masuk ke wilayah kekuasaaan mereka. Ayahnya juga pernah menjatuhkan seekor induk beruang ketika hewan itu mengamuk karena anaknya dikira telah diambil oleh Qiao Feng. Selain dari semua itu, masih banyak tindakan heroik lain yang ayahnya perbuat untuk menjaga keluarganya yang hidup di gunung lontang. Tak mungkin ia gemetar ketakutan hanya karena melihat para tentara.
Tak mau pusing-pusing memikirkan hal yang susah di cari jawabannya, Qiao Feng pun akhirnya acuh tak acuh dengan gerak-gerik aneh kedua orang tuanya tersebut. Apapun pendapat mereka tentang para tentara, tak bisa menghalangi kekaguman besar Qiao Feng terhadap mereka.
_ _ _
" Qiao Feng... perempuan macam apa kau ini. Berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorai seperti orang gila. Duduk dan selesaikan makananmu. Setelah itu bersiap-siaplah untuk pergi berburu bersama ayahmu. Simpan saja kesenanganmu itu untuk esok hari"
Sentakan dari ibunya membuat Qiao Feng sadar akan euphoria berlebihan yang ia rasakan. Ia bersemu merah, menunduk malu. Beringsut duduk kembali di kursi untuk menghabiskan sisa buah pencuci mulut yang tadi sedang dia makan.
Guang Jiao tahu, moment ini adalah saat-saat yang dinantikan oleh anaknya. Dalam hati ia tidak menyalahkan tindakan anaknya yang berlebihan karena rasa senang.
Anaknya itu adalah anak yang lincah, ceria dan suka mempelajari hal baru. Tidak heran jika dia sangat gembira ketika mendengar rencana orang tuanya pergi ke kota. Karena disana banyak hal baru dan asing. Keramaian juga bagian dari favoritnya. Karena ia bisa bermain dengan anak sebayanya dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
Rumah mereka yang terpencil jauh dikedalaman gunung memang kurang cocok untuk tumbuh kembang anakya yang baru berumur 11 tahun. Tapi apa mau di kata. Keadaan yang memaksa mereka menjalani kehidupan seperti ini.
Begitulah aktifitas keluarga Li dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Tanpa mereka tahu, bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka bisa makan, berkumpul, dan berbincang bersama-sama. Sebuah hari yang 'damai' sebelum 'badai' datang di keesokan harinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Li Qiao Feng (hiatus)
Historical Fiction# 999 in historical fiction (03 Mei 2018 ) ? 😁 Kisah ini terjadi sekitar tahun 234M dimana Era ini di kenal luas sebagai zaman 3 negara (Wei,Wu,Shu). Ini adalah Era penghujung dinasti Han, disaat tiongkok terpecah menjadi 3 negara yang saling ber...