Chapter 20

2.1K 230 4
                                    

Para tentara bantuan kerajaan Wei yang melihat seorang pendatang baru yang beberapa saat lalu terbang di angkasa, menyeret pria besar bersamanya. Mereka langsung mengenali sosok orang itu. Dia tak lain merupakan Jendral besar mereka yakni Jendral Besar Teng Fei.

Para pasukan bagaikan mendapatkan sebuah cahaya harapan yang baru. Jika Jendral mereka ada disini, jumlah tentara pasukan kerajaan Shu yang kini kurang dari seratus orang, pasti bisa dikalahkan dengan mudah nya. Menurut gosip yang beredar, jendral besar mereka kekuatannya setara dengan 100 orang prajurit. Jadi jumlah ini pasti tidak berarti apa-apa untuknya. Kemenangan sudah ada di hadapan mereka.

Para tentara yang semangatnya terbangkitkan, kini menyorakan nama Jendral mereka dengan lantang, seolah ingin memberitahu kepada seluruh penjuru JInhau bahwa kini mereka memiliki harapan untuk memenangkan pertarungan ini.

" Hidup Jendaral Fei... Hidup... HIdup Jendral Fei... Hidup..."

Sorak-sorai itu terus menggema berulang-ulang. Para tentara kerajaan Shu yang mendengar kobaran semangat para pasukan kerajaan Wei. Langsung bisa menarik kesimpulan, mengenai siapa orang yang baru saja melesat di hadapan mereka.

" Jendral Fei? Apa yang mereka maksud adalah Jendral Teng Fei? ? Jendral besar yang merupakan salah satu dari cakar naga? Jadi orang yang barusan muncul itu adalah dia? Sial, apa yang dilakukannya disini. Bukankah dia seharusnya masih bersama pasukannya di kota Seishu?" ujar seorang prajurit Shu kelas menengah yang berada di barisan tentara berpedang.

" Siapa lagi kalau bukan dia. Apa penting menanyakan hal itu sekarang? Saat ini pikirkan saja nyawamu. Apa kau pikir kita masih bisa keluar dari medan perang ini hidup-hidup setelah kedatangannya? " jawab salah seorang tentara yang berada di sampingnya.

" Huh buat apa kalian berdebat? Sudah jelas nasib kita akan berakhir di tempat ini. jika bukan kematian, maka penderitaan tak berujung akan menjadi takdir kita" ujar prajurit senior yang ada di hadapan mereka. Wajahnya kini pucat pasi. Menunjukan besarnya tekanan dan ketakutan yang dihadapi.

" Brengsek, kabar burung itu ternyata benar, hanya dengan mendengar namanya saja, bulu kuduk-ku sudah merinding " ucap prajurit besar pemegang tombak, yang berada di barisan belakang.

Berbagai kicauan dan gumaman para prajurit kerajaan Shu semakin berkembang. Meningkatkan rasa takut dan ketegangan di antara pasukan. Sang Chuangzhu yang juga merasakan besarnya efek dari kedatangan sang Jendral besar kini mengepalkan tangannya erat-erat. Dalam hatinya ia berbicara

" Oh dewa... kesialan apa sebenarnya yang kualami hari ini? berhadapan dengan pria berjanggut itu saja sudah cukup sulit dan sekarang ditambah dengan kedatangan Jendral besar. Apa nasibku akan berakhir disini? " keluhnya dalam hati

Ketika para pasukan masih ada dalam perbincangan dan kekalutan... dua figur tinggi besar tiba-tiba saja muncul dihadapan mereka. Dalam hitungan kedua... puluhan tubuh melayang keudara, terhempas dan jatuh dengan keras ditanah berbatu.

_ _ _

Teng Fei dan Jianguo telah mencapai kesepakatan. Tujuan mereka sama, yakni membasmi tuntas pasukan Kerajaan Shu. Jianguo hanya meminta satu hal dari aliansi ini. yakni untuk menjauhkan medan pertempuran sejauh mungkin dari tempat anaknya berada. Dan hal itu langsung di sepakati oleh Teng Fei.

Kini mereka bersiap untuk kembali ke medan pertempuran. Jianguo mengatur aliran energy Qi dari pusat tubuhnya dan mengumpulkan aliran Qi itu di kedua kakinya. Pria berbadan kekar yang ada di sebelahnya, yakni Jendral besar Teng Fei pun melakukan hal yang serupa.

Setelah aliran Qi itu stabil. Mereka saling berpandangan dan dengan isyarat sebuah anggukan. Masing masing dari mereka segera meluncur ke medan pertarungan. Teng Fei dengan jurus lompatan naganya dan Jianguo dengan jurus kecepatan kilatnya.

Dan hanya dalam waktu 10 detik mereka hampir tiba di area kumpulan pasukan kerajaan Shu yang jaraknya terpaut 2 yin. Dan saat mereka bersiap untuk mendarat dan melancarkan serangan, puluhan tubuh tiba-tiba saja melayang di hadapan mereka.

_ _ _

Malam sebelum ekspansi ke kota Jinhau. Perbatasan selatan kota Tian Shui.

" Apa kau pernah mendengar tentang "Ramalan dewa Perang?" Ujar seorang pria berambut panjang terurai dengan alis dan mata setajam elang. Kumis panjangnya bersatu dengan janggut lebatnya yang sepanjang tenggorokan. Tangan kanannya memegang sebuah kipas dari bulu burung bangau.

" Ya. Aku pernah mendengarnya. Bukankah itu adalah salah satu dari kemampuan Jendral Fei yang terkenal? " ujar seorang pria muda berperawakan tinggi besar dengan hidung mancung, alis mata yang sering berkerut dan dagu yang terbelah.

" Benar sekali. Apa kau pikir dia akan bisa menebak strategi kita kali ini? Tanya pria berambut panjang itu.

" Ntahlah... kemungkinan seperti apapun akan selalu ada di medan perang. Lalu apa kau berniat untuk mengubah strategi kita? Tanya pria berdagu belah itu.

" Tidak. Akan sangat terlambat untuk mengubahnya. Persiapan telah selesai dilakukan, para pasukan sudah disiapkan. Dan ini merupakan strategi terbaik yang kita miliki saat ini. Apa gunanya meningkatkan kekhawatiran diantara para pasukan dengan tiba-tiba merubah strategi yang sudah disiapkan secara matang ini, hanya untuk menghadapi sebuah kemungkinan yang persentasenya sangat kecil " ujar pria berambut panjang. Meskipun jawabannya jelas dan suaranya lantang. Wajahnya menunjukan sedikit keraguan. Ada semacam kerikil kecil yang mengganggu ketenangannya.

Pria berambut panjang itu di kenal sebagai Zhuge Liang si ahli strategi militer dari kerajaan Shu. Yang menjabat sebagai perdana menteri Shu Han. Karena kejeniusannya dan kecakapannya ia sering di juluki "Naga tidur"

Sedangkan pria muda berperawakan tinggi besar yang menjadi lawan bicaranya adalah Jiang Wei. Yang merupakan seorang Jendral dan ahli strategi. Salah satu dari ' 4 Harimau '

" Sepertinya kau masih menyimpan kekhawatiran. Kalau begitu bagaimana kalau kita menjalankan 'strategi ini' " ujar Jiang Wei, yang kini sedang membisikan sebuah strategi baru untuk persiapan penyerangan mereka ke Chiang Nan

Zhuge Liang mendengarkan perkataan Jiang Wei dengan seksama. Tangannya berhenti mengipas, bola matanya membesar dan jiwanya mulai membara karena rasa senang. Tidak salah pilihannya untuk membujuk Jiang Wei menjadi aliansinya. Kecerdasan dan kemampuannya sangat berbakat. Ia sebanding dengan mantan rekannya yang telah meninggal yaitu Pang Tong yang di juluki "Phoenix muda".

'Sekarang pria ini mungkin sudah pantas mendapat julukan itu' pikirnya

Malam itu sebuah strategi baru telah ditetapkan tanpa mengganggu jalannya strategi utama mereka. Sebuah senyuman kepuasan mengembang dari bibir Zhuge Liang.

Li Qiao Feng (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang