"Jadi, bisa jelasin ke gue gak, ada hubungan apa antara lo sama Efra? Gue bener-bener gak ngerti deh kenapa sikap Efra tiba-tiba aneh ke gue dan dia terus-terusan nyinggung soal hubungan gue sama elo... aneh banget kan?" Ujar Anaya to the poin pada Prana setelah mereka pergi dari restauran the duck. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil Prana.
Prana masih tetap diam tidak mencoba untuk bersuara karena tau gadis yang berada di samping kemudinya belum selesai berbicara kepadanya.
"Apa untungnya coba dia nanya-nanya kayak gitu ke gue, penting gitu dia tau? Siapa sih dia?!" Gerutunya tidak senang. Mendadak hatinya menjadi dongkol saat teringat percakapannya dengan pria itu beberapa hari yang lalu.
"He's my brother."
"What?!"
"Kenapa?" Tanya pria itu datar tanpa ekspresi.
"D-dia K-kakakmu, Prana?" Ucap wanita bergaun softpink menatap lelaki di sampingnya tidak percaya. Bagaimana bisa? Oh Goooodd... apa lagi ini?
"Iya." Jawabnya datar.
"Kok bisa sih?" Gumamnya pelan setelah beberapa menit mereka saling terdiam. Anaya masih belum bisa mempercayai kata-kata yang baru saja diucapakan oleh Prana.
"Ya bisa. Memangnya kamu mau jawaban seperti apa, Naii?" Jawabnya tak acuh. Ish! Anaya ingin sekali mencabik-cabik wajah datar pria disampingnya ini andai saja pria itu sedang tidak mengemudi. Bisa gawat kalau dia bertindak brutal semau hati. Ah, dia masih belum ingin mati sekarang.
"Tapi kok... kalian gak ada mirip-miripnya sih?" Celetuknya yang membuat Prana mengerem mobilnya dengan tiba-tiba. Untung saja tindakannya tidak membuat mobil yang sedang melaju dibelakangnya menabrak mobilnya. Dan kalau itu sampai terjadi, pakai rok saja kau Pranata! Gumam Anaya dalam hati.
"Aduh Pranata! Lo kok gak kira-kira banget sih kalau mau ngerem mendadak! Oh tidaaak... jidat gue..." Protesnya sambil mengurut pelan jidatnya yang terantuk dashboard mobil. Gadis itu merengis nyeri merasakan denyutan di dahinya.
Prana yang tidak sengaja mengerem mendadak mobilnya tadi dan membuat gadis disampingnya terluka terlihat bersalah. Refleks tangannya langsung meraih wajah Anaya yang memang terlihat sedikit memar. "Maaf. Tadi saya benar-benar tidak sengaja, Naii. Maafin saya?" Gumamnya menggantikan tangan mungil Anaya mengurut pelan pelipis gadis itu. Mengurutnya dengan penuh ke hati-hatian agar sang gadis tidak merasa kesakitan.
Kaku. Anaya benar-benar merasa kaku saat tangan kasar Prana menyentuh kulit wajahnya. Ia seperti de javu saat tangan Prana terus mengurut pelipisnya berulang-ulang. Perasaan apa ini?
Tadinya ia ingin sekali memaki Prana karena sikap seenaknya pria kaku satu itu, tapi entah kenapa emosinya mendadak lenyap saat merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba menyelinap lewat sudut hatinya.
Tidak mungkin! Sangkalnya dalam hati.
"Ini mungkin akan sedikit membiru. Kita ke rumah sakit sekarang." Ujar pria itu tegas tanpa meminta persetujuan Anaya dan bersiap menyalakan mobilnya kembali.
Anaya yang merasa dirinya baik-baik saja langsung panik begitu mendengar dia akan dibawa ke rumah sakit. Reflek ia mencekal lengan kiri Prana dengan begitu erat, "Jangaaan! G-gue baik-baik aja kok. Kita gak perlu ke rumah sakit, Oke?" Ujarnya terdengar gugup. Anaya sungguh tidak bisa ke sana, apapun alasannya. Mendengarnya saja sudah takut. Apalagi disuruh datang. Trauma di dalam dirinya sama sekali tidak bisa dihilangkan. Padahal ia sudah berulang kali mencoba untuk menghilangkannya.
"Kenapa?" Tanya Prana yang tidak mengerti dengan sikap Anaya yang sedikit berlebihan ketika gadis itu mendengar dirinya akan dibawa ke rumah sakit. Apanya yang salah?Prana hanya tidak ingin Anaya kenapa-napa karena dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENTANGLED HEARTS
Romanzi rosa / ChickLitWarning! About content 21+ Lelah karena terus-terusan dijodohkan oleh eyangnya, Anaya memilih untuk pergi dari rumahnya dan tinggal sendiri di apartemen yang diberikan oleh ayahnya tanpa sepengetahuan sang eyang. Semua fasilitas yang Anaya punya ter...