Satu setengah tahun kemudian.
Vania berjalan tergesa-gesa menuju ke toilet. Ia ingin segera pergi ke kamar kecil. Sedari tadi ia menahan hasrat untuk buang air. Tidak sopan rasanya jika ia keluar ruangan saat meeting sedang berlangsung. Tapi ternyata, meeting berlangsung lebih lama daripada yang ia kira. Akibatnya, sejak tadi ia gelisah.
Bruk!
Vania tanpa sengaja menubruk seseorang karena sedari tadi ia berjalan menunduk.
Jantung Vania rasanya hampir berhenti berdetak melihat sosok yang ditabraknya.
Dia.
Lelaki itu.
Lelaki yang sudah sekian lama dihindarinya.
Rico.Kenapa mereka harus bertemu kembali. Parahnya lagi, kenapa mereka harus bertemu dengan cara seperti ini.
"Lagi buru-buru, ya?" tanya Rico seraya tersenyum lembut.
"Ehm... A... Aku...." Vania tergagap.
Sungguh bertemu Rico dalam kondisi seperti ini membuatnya seperti tiba-tiba disergap. Ia tak siap.
"Emangnya buru-buru mau ke mana?" tanya Rico lagi.
"Ehm... Aku mau ke toilet. Aku duluan, ya."
Tanpa menunggu jawaban Rico, Vania segera melangkah. Melangkah pergi dari lelaki yang pernah memiliki separuh hatinya.
*****
Akhirnya jam pulang tiba juga. Hari ini hari yang cukup berat. Vania merasa tubuhnya sangat penat. Meeting seharian hari ini benar-benar menguras tenaga dan emosi.
Dengan langkah ringan, Vania keluar dari ruangannya dan menuju lobby. Tapi langkah Vania terhenti ketika ia melihat lelaki itu sedang duduk di salah satu sofa yang berjajar di lobby.
Dia.
Lelaki itu.
Lelaki yang sepertinya memang masih memiliki tempat istimewa di hatinya.
Rico.Kembali jantung Vania serasa berhenti berdetak. Duh, kenapa Rico masih ada di sana. Sekarang ia harus bagaimana? Apakah ia harus lari?
Padahal tadi Vania membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menenangkan diri di toilet. Ia bahkan membasuh wajah karena ia merasa wajahnya memanas seketika.
Bagaimana pun juga, setelah sekian lama ia mencoba menghindari dan membatasi komunikasi bahkan untuk urusan pekerjaan sekalipun, perasaan itu belum sepenuhnya pergi. Bahkan rasa untuk lelaki itu seolah semakin kuat tepatri di dalam hati. Sekalipun saat ini sudah ada Ferdy.
Vania berusaha meredakan detak jantungnya yang semakin menggila.
Tenang Vania. Tenang. Nggak usah takut. Itu cuma Rico. Itu bukan genderuwo.
Tetapi apalah arti sugesti jika tak diyakini. Buktinya Vania merasakan langkahnya tiba-tiba menjadi cepat begitu ia melewati sofa dimana Rico sedang duduk sambil membaca majalah.
Ya, sepertinya kabur adalah jalan terbaik saat ini, pikir Vania.
Vania mempercepat langkahnya. Ia juga berjalan sambil menundukkan wajah, berharap Rico tidak melihatnya. Tapi harapannya sirna ketika ia mendengar sebuah suara memanggil dirinya.
Suara itu.
Suara yang sangat ia kenal."Vania!"
Suara itu.
Suara Bu Titi.Haduh, ngapain Bu Titi pakai manggil segala, gerutu Vania.
Mau tak mau, Vania berhenti dan membalikkan badan. Dilihatnya Bu Titi sedang berjalan ke arahnya. Pada saat yang sama, ia juga melihat Rico sedang menatap dirinya. Tatapan yang seolah langsung membelah dadanya, menembus jantungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Vania
ChickLitVersi ebook tersedia di Playstore. Cerita kedua dari "Serial Keajaiban Cinta". Prekuel "Marrying Mr. Perfect". Hanya tersisa part 1 - 52 (Part 13 dst private) Senandung Cinta Vania Sepenggal kisah tentang kehidupan, cinta, persahabatan, harapan, dan...