Vania menghela napas berat.
Ferdy datang ke rumah?
Ferdy melamar dirinya ke hadapan papa?Ya Tuhan! Ferdy maunya apa?!
Tidak bisakah Ferdy dengan lapang dada menerima kenyataan bahwa kisah mereka telah selesai?
Tidak bisakah Ferdy berbesar hati menerima kenyataan bahwa apapun yang pernah terjalin di antara mereka telah usai?Vania bisa merasakan matanya berkaca-kaca. Kesal, kecewa, marah, semua bercampur menjadi satu. Menggumpal dan memenuhi hati dengan berjuta perasaan pilu.
"Van," tegur Bu Faisal.
"Ya, Mama," Vania menjawab dengan.suara lemah.
"Apa bukan Ferdy orangnya?"
"Orangnya? Maksudnya?"
"Apa bukan sama Ferdy kamu jatuh cinta?"
Sekali lagi Vania menghela napas. Tentu saja bukan. Jika Ferdy orangnya, tentu ia tak perlu bersusah payah. Jika Ferdy orangnya, tak harus sampai seperti ini ia berusaha.
Di ujung satunya, Bu Faisal juga menghela napas.
"Mama kira Ferdy." Bu Faisal diam sejenak. Kemudian dengan suara lirih, Bu Faisal berkata kembali, "Apa nggak bisa dipertimbangkan lagi?"
"Ma," potong Vania.
"Mama nggak tahu kamu jatuh cinta sama siapa. Tapi apa dia juga jatuh cinta sama kamu?"
Pertanyaan itu membuat Vania membisu.
Apakah Rico juga jatuh cinta padanya? Vania tiba-tiba merasakan hatinya terluka. Ia saja tidak tahu jawabannya.
"Bagi seorang perempuan, dicintai itu lebih membahagiakan daripada mencintai," lanjut Bu Faisal. "Dicintai akan membuat seorang lelaki memberikan segala yang terbaik untuk kamu, sedangkan jika kamu yang mencintai, belum tentu akan seperti itu. Apalagi Ferdy niatnya serius, untuk menikah, bukan lagi main-main. Sedangkan lelaki yang satunya, belum tentu niatnya mau ke sana. Kadang kesempatan nggak datang untuk yang kedua kali."
Kata-kata Bu Faisal menyisipkan sepercik kesedihan ke dalam hati Vania. Vania tahu, tidak ada yang salah dari perkataan sang ibunda.
Mamanya benar. Bagi seorang perempuan, dicintai lebih membahagiakan daripada mencintai. Demikian yang sering ia dengar.
Mamanya juga benar. Kesempatan belum tentu akan datang untuk yang kedua kali.
Ferdy mencintainya. Sedangkan Rico? Entahlah.
Ferdy serius ingin menikah dengannya. Sedangkan Rico? Vania hanya mampu berharap dan berdoa.
Tapi apakah salah jika kita mencintai yang lain, sekalipun dia belum menawarkan komitmen dan pernikahan? Apakah tidak boleh kita mengejar pria yang kita impikan, sekalipun hal itu bagaikan melepaskan seekor burung yang ada dalam genggaman?
Bukankah tidak semua tawaran harus diterima? Jika iya, bagaimana jika orang yang datang menawarkan cinta bukanlah orang yang kita puja? Akankah kita bahagia? Atau kita justru akan menyesal nantinya?
"Van," tegur Bu Faisal. "Perempuan itu kodratnya dikejar, bukan mengejar."
Sekali lagi Vania hanya bungkam. Sekali lagi kata-kata mamanya bagaikan tusukan belati yang menghujam.
Vania tahu, mamanya benar. Kodrat seorang perempuan adalah dikejar, bukan mengejar. Tanpa Bu Faisal sadari, kata-katanya membuat Vania semakin tenggelam dalam kesedihan.
Alangkah ironisnya hidup ini. Ferdy mengejarnya, sementara ia terus berjalan dan mengejar lelaki yang bahkan tak dapat ia tebak isi hatinya.
Alangkah ironisnya kenyataan yang harus ia hadapi. Ferdy tak pernah lelah menawarkan cinta, sementara ia menginginkan Rico yang bahkan ia sendiri tak tahu apakah Rico juga menginginkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Vania
ChickLitVersi ebook tersedia di Playstore. Cerita kedua dari "Serial Keajaiban Cinta". Prekuel "Marrying Mr. Perfect". Hanya tersisa part 1 - 52 (Part 13 dst private) Senandung Cinta Vania Sepenggal kisah tentang kehidupan, cinta, persahabatan, harapan, dan...