Part 41 - Kembali Memulai

6.6K 1K 132
                                    

Hari-hari setelahnya adalah hari yang sangat berat dan melelahkan untuk Vania. Dari pagi hingga malam hari, kesedihan dan kegalauan menghampiri tiada henti.

Ia tidak membenci Kendra, sungguh. Kendra sudah bukan lagi sekedar rekan kerja bagi Vania, Kendra adalah temannya, sahabatnya. Ia tidak bisa membenci Kendra. Tidak akan pernah bisa.

Tapi harus berjumpa dengan Kendra setiap hari dan harus memasang wajah seolah ia baik-baik saja adalah sesuatu yang sangat berat. Membuatnya lelah, membuatnya diam-diam meneteskan air mata.

Ia tidak tahu harus merasa kecewa pada Rico, pada Kendra, atau pada keduanya?

Meski ia tahu bahwa Kendra tidak bersalah tapi sulit untuk memungkiri bahwa Kendra bagi Vania kini bagaikan sehelai duri yang tajam menusuk hati.

Begitulah manusia. Ketika dilanda kecewa karena yang terjadi di kenyataan tak sesuai dengan apa yang diharapkan, kita cenderung menyalahkan kondisi dan lingkungan sekitar.

Vania merasa kecewa dan tersakiti padahal selain mengajaknya pergi ke pameran dan menonton konser, Rico tidak pernah menebar janji. Ia sendiri yang memupuk harapan terlalu tinggi.

Demikian juga yang ia rasakan kepada Kendra. Vania masih tidak bisa mempercayai, bahwa pada Kendralah Rico menaruh hati. Bagaimana bisa? Bagaimana selama ini Rico bisa tahan memendam rasa? Bukankah Kendra adalah istri sahabatnya?

Akhirnya Vania lebih memilih untuk menghindar. Pesan dan semua panggilan Rico ia abaikan. Bukan ia marah, ia hanya tak tahu harus menjawab apa.

Bagaimana Rico bisa mengajaknya untuk mencoba, sedangkan ia tahu pasti, hati Rico bukan untuknya. Lalu untuk apa?

Apa hanya karena Rico merasa tak enak hati padanya? Rasanya alasan itu terlalu mengada-ada. Sebuah hubungan tidak bisa berjalan dengan alasan yang terlalu dipaksakan.

Meski kini ia mengetahui kenyataan bahwa Andre ternyata juga memiliki perasaan cinta untuk istrinya, tidak lantas berarti hati Rico akan bisa ia miliki. Tidak otomatis seperti itu.

Cinta adalah sebuah rasa yang tak bisa dipindahtangankan semau kita. Cinta adalah sebuah rasa yang keberadaan dan ketiadaannya seringkali tidak sesuai dengan nalar atau logika.

Jadi omong kosong jika Rico mengajaknya untuk mencoba. Mereka berdua bukan Andre dan Kendra yang diam-diam saling mencinta. Hanya dirinya yang memiliki rasa, Rico tidak.

Berada di tempat kerja juga membuat Vania dihantui rasa was-was. Tak jarang ia terlonjak kaget saat Bu Titi atau Kendra memanggilnya. Vania khawatir ia akan diberi tugas untuk menghubungi atau bekerja dengan Rico.

Tidak! Tidak! Untuk saat ini pikiran dan seluruh indranya menolak.

Betapa ironis, Rico yang dulu wajah dan suaranya setiap hari selalu hadir dalam mimpi, kini menjadi sosok yang membuatnya sering menangis. Cinta ternyata selucu ini. Cinta ternyata bisa semenyakitkan ini.

"Vania," tegur sebuah suara.

Vania cepat-cepat menghapus setetes air bening yang sempat membasahi pipi tanpa permisi. Bu Titi berdiri di depan pintu dan menatapnya curiga.

"Kamu kenapa?"

Bu Titi melangkah mendekati meja Vania.

"Eh, kenapa? Nggak kenapa-kenapa," Vania berkilah.

"Benar?"

"Iya."

"Kok saya perhatikan wajah kamu akhir-akhir ini pucat? Kamu sehat?"

Vania tercekat? Sehat?

Ia sehat. Raganya. Tapi tidak dengan hatinya.

"Sehat, Bu." Vania memaksakan sebuah senyuman. "Ada yang bisa saya bantu?"

Bu Titi mengulurkan sebuah map bening berisi tumpukan dokumen.

"Ini dokumen event seminar dan workshop tahun lalu. Coba kamu pelajari dulu."

"Terus, Bu?"

"Saya mau kamu handle event itu tahun ini."

"Siap."

"Kendra mau saya kasih tugas yang lain, jadi event ini akan jadi tanggung jawab kamu. Gimana? Berani terima tantangan ini?"

"Berani dong, Bu," sahut Vania sambil tersenyum lebar.

"Good. Nanti kamu hubungin Rico, ya. Kata Andre, tahun ini dia serahin event ini ke Rico. Jadi kamu nanti kerja bareng dia. Udah pernah kerja bareng 'kan?" ucap Bu Titi Ringan.

Vania terpana. Senyumnya menghilang seketika.

"Ya, udah. Saya tinggal dulu," ucap Bu Titi lantas berlalu.

Setelah sosok Bu Titi menghilang dari ruangannya, mata Vania kembali berkaca-kaca.

Sejenak angan Vania mengembara. Bertemu Rico dan bekerja dengannya lagi? Dulu, ia akan menerimanya dengan senang hati. Tapi kini? Bagaimana jika pekerjaan mereka akan menjadi berantakan nantinya? Bagaimana jika rasa ini akan semakin berkembang dan membesar tanpa mampu ia kendalikan?

Berjuta kemungkinan muncul tanpa permisi dan membuat Vania dihantui rasa ngeri. Ia takut.

Ia takut akan semakin jatuh cinta. Ia takut akan semakin tak kuasa menolak Rico dengan segala pesonanya. Ia takut akan semakin tenggelam dalam pusaran perasaan yang mungkin hanya akan berujung lara.

Memang, hal paling mudah yang bisa ia lakukan saat ini ada dua, antara terus menghindar atau menerima uluran cinta yang Rico tawarkan.

Tapi ia tak mau 'bersaing' dengan Kendra. Ia tak mau menjalin sebuah hubungan yang berada di bawah bayang-bayang Kendra. Ia tidak mau!

Vania menitikkan air mata. Saat ini, ia merasa betapa jahat sesuatu yang bernama cinta telah mempermainkannya.

Ia mencintai Rico setulus hati hingga ia menutup mata terhadap Ferdy dan segala pengorbanan yang telah lelaki itu lakukan. Tiba-tiba saja Vania merasa sangat menyesal.

Ferdy apa kabar? Masih adakah setitik cinta yang tersisa untuknya?

Tiba-tiba saja gumpalan rasa rindu memenuhi ruang kalbu.

Selama ini, hanya Ferdy yang senantiasa ada di sisi. Selama ini, hanya Ferdy yang selalu berusaha memahami.

Sambil menggigit bibir dan menahan air mata, Vania mengambil handphone dan mengetik sebuah pesan dengan cepat. Sebelum ia berubah pikiran, sebelum semua terlambat.

*****

Ferdy baru saja masuk ke dalam mobil dan akan bergegas pulang ketika di handphonenya masuk sebuah pesan.

Pesan yang membuatnya terpana hingga ia beberapa kali harus mengucek mata untuk memastikan bahwa ini semua adalah nyata. Pesan yang membuat kecepatan detak jantungnya bertambah. Pesan yang membuatnya saat itu juga melesatkan mobilnya menuju Jakarta.

Kalau aku mau memulai segalanya lagi sama kamu, apa kamu masih punya sedikit cinta buat aku?

Sedikit? Sedikit cinta Vania bilang? Untuk Vania, tidak hanya ada sedikit cinta, tapi seluruh hati, cinta, dan rasa yang ia punya hanya untuk Vania.

Cepat ditekannya nomor telepon satu-satunya wanita yang bertahta di ruang hatinya, Vania.

"Halo." Terdengar suara Vania menyapa. Tampak jelas bahwa Vania menerima panggilan sambil menahan isak.

"Van," panggil Ferdy perlahan.

"Aku..."

"Ya?" tanya Ferdy dengan dada yang terasa menggelegak menahan luapan rasa.

"Kamu mau mulai lagi sama aku?"

Ferdy diam sejenak sebelum ia memantapkan hati. Ia yakin, keluarganya nanti pasti akan mengerti. Akan ia dapatkan Vania, apapun caranya, apapun taruhannya, apapun risikonya.

"Tentu, Van. Tentu. Cintaku cuma buat kamu."

Pemeran utama hati
Pemicu detak jantung ini
Baru kini kusadari
Setelah berlayar pergi
Itu kamu

~ Pemeran Utama - Raisa ~

*****

Senandung Cinta VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang