"Kamu tahu nggak, Van?" tanya Rico perlahan namun sanggup membuat Vania gelagapan.
"Apa?"
"Kamu tuh nggak harus kelihatan tegang gitu kalau lagi ngobrol sama aku. Biasa aja," Rico berkata sambil menatap Vania dengan sorot mata lembutnya.
Wajah Vania sontak memerah. Setegang itukah wajahnya? Seterlihat itukah kegrogiannya?
"Ah, masa sih?" sahut Vania keki.
"Iya. Emangnya aku tuh serem banget sampai kamu kayaknya takut gitu sama aku?"
Aduh. Takut? Iya sih. Aku takut jatuh cinta. Halah!
"Ehm... Gitu, ya?" Vania salah tingkah. "Habisnya aku minder sama Pak Rico. Aku 'kan junior banget, sedangkan Pak Rico udah senior. Aku takut nggak bisa ngimbangin," Vania beralasan.
"Apanya yang senior? Senior tuh Andre sama Kendra. Aku juga baru belajar kok, Van. Kita belajar sama-sama, ya?" ucap Rico sambil tersenyum. Sorot matanya tampak tulus.
Vania membalas senyuman itu. Senyuman dan sorot mata Rico begitu teduh. Seolah Vania bisa sejenak istirahat dari penatnya kehidupan hanya dengan menatap Rico dan sorot matanya yang begitu menenangkan.
Siang ini Rico sengaja datang ke kantor Vania untuk membahas project bersama perusahaan mereka. Ada dua project yang akan digarap, yaitu pameran dan kegiatan sosial.
Ini adalah kali pertama bagi Vania. Untungnya, Rico yang baik hati mau menjelaskan segala sesuatunya dengan perlahan, seperti seorang guru kepada anak didiknya. Rico agaknya memahami bahwa banyak hal yang Vania belum mengerti.
Tidak hanya itu, Rico juga yang datang ke kantor Vania, bukan sebaliknya. Melihat Rico yang menjelaskan ini itu dengan sabar, Vania bagaikan melihat sebatang padi yang semakin menunduk kala semakin berisi. Begitu sederhana, apa adanya, dan rendah hati. Sikap yang Rico tunjukkan membuatnya lebih santai dan nyaman, mengingat dirinya yang kadang suka merasa rendah diri. Berbeda dengan Andre yang aura bosnya begitu memancar.
"Nah, sampai di sini ada yang mau kamu tanyain?"
Vania membaca coretan Rico di papan tulis.
"Bentar ya, Pak, aku mau mencerna dulu."
"Iya. Nyantai aja," sahut Rico lagi-lagi dengan senyum lembutnya.
Vania jadi gemas sendiri. Apa Rico selalu bersikap manis seperti ini? Maksudnya, apakah Rico bersikap sama terhadap semua wanita? Jika iya, kira-kira sudah berapa banyak wanita yang jatuh hati kepadanya atau bahkan ditaklukkannya?
"Waduh, pasti banyak saingan," tanpa sadar Vania bergumam.
"Waduh kenapa, Van? Siapa yang saingan?"
"Eh, nggak apa-apa." Lagi-lagi Vania gelagapan. Ia jadi malu sendiri dengan apa yang baru saja ia pikirkan.
"Ada yang salah dari pemaparan aku?"
"Nggak kok, nggak ada. Aku tadi cuma lagi teringat sesuatu," kilah Vania.
"Oh gitu. Ya udah, kamu baca lagi aja."
"Udah sih kayaknya, Pak. Paling nanti yang untuk pameran kita tambahin talk show di radio. Eh, kita ngebahas pameran dulu 'kan ya?"
"Iya, pameran dulu."
"Nah, itu bagusnya pakai talk show di radio. Nanti kita undang juga bintang tamunya, jadi 'kan ada daya tarik buat pengunjung untuk datang ke pameran. Kalaupun nggak bisa ajak bintang tamu, nggak apa-apa kita sebutin aja bintang tamunya siapa."
"Ide bagus," sahut Rico. "Itu emang gaya Kendra banget, talk show di radio. Dia emang jagonya bicara."
"Jago ngecap dan ngeles sih, Pak, lebih tepatnya," timpal Vania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Cinta Vania
Chick-LitVersi ebook tersedia di Playstore. Cerita kedua dari "Serial Keajaiban Cinta". Prekuel "Marrying Mr. Perfect". Hanya tersisa part 1 - 52 (Part 13 dst private) Senandung Cinta Vania Sepenggal kisah tentang kehidupan, cinta, persahabatan, harapan, dan...