39. Unexpectable

39K 3.1K 342
                                    

   Dengan kasar Agil membanting pintu mobil saat ia turun, membuka bagasi dan mengambil tongkat baseball yang biasa ia gunakan untuk tawuran dulu. Setengah berlari melewati dataran penuh rumput dan bebatuan menuju sebuah rumah tua yang sepertinya sudah lama tidak ditinggali.

   Ben juga mempercepat langkahnya untuk mengimbangi Agil.

   Tanpa aba-aba ataupun peringatan dahulu, Agil langsung menendang pintu depan dengan sangat keras. Pintu yang sudah tua itu seketika reyot dan terlepas dari engselnya yang bengkok. Bau apek, besi berkarat dan kayu-kayu yang sudah lapuk tercium di setiap bagian ruangan.

   Membayangkan Oliv disekap di rumah yang bahkan baru masuk saja sudah memberikan kesan ingin muntah ini membuat emosi Agil semakin tidak bisa dibendung.

   Agil melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia terhenti.

   Bayangan tentang kenangan masa lalunya muncul lagi dari alam bawah sadarnya. Ia berhenti tepat di tempat biasa ia melepas sepatunya, dengan senyuman hangat Arumi yang selalu setia menyambutnya.

   Ia meneruskan langkahnya dan tiba di ruang tengah. Lagi, bayangan tentang masa lalunya muncul, membuat Agil mengeluarkan keringat dingin. Ia sedikit terpaku, bagian ruangan ini adalah dimana keluarga kecilnya dulu paling banyak menghabiskan waktu bersama.

   Kepalanya diserang rasa sakit yang lumayan hebat, keringat dingin semakin bercucuran dari kening Agil. Yang membuatnya lebih kalap adalah dia sampai mengalami halusinasi. Suara tawa hangat keluarga sederhananya dulu seakan terngiang di kepalanya.

   Agil bersandar pada dinding yang sudah berlumut itu, membuat Ben berbalik.

   "Lo kenapa Gil?"

   Agil tidak menjawabnya, kepalanya benar-benar pusing, seluruh badannya bergetar dan rasanya akan pingsan. Tidak ada pilihan lain, ia harus membuat tubuhnya menolak untuk dijadikan budak halusinasi sialan ini.

   Agil mencengkram bahu Ben dengan satu tangannya. "Pukul gue."

   Ben mengerutkan dahinya melihat Agil yang bertingkah aneh. "Lo sinting? Ngapain gue mukul lo? Mending pukulan gue gue hemat buat mukul mukanya Gilang." Ben baru saja mau pergi untuk mencari Gilang namun Agil menahan tangannya.

   Agil menatapnya dengan sangat serius. "Lakuin aja, di ulu hati gue. Cepetan!"

   Ben benar-benar bingung, namun Ben tau saat melihat sorot mata Agil, Agil bersungguh-sungguh akan keinginannya itu. Ben pun mencengkram bahu Agil dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya mengepal ke belakang.

   "YANG KERAS!!!"

   Duakk..

   Pukulan kanan Ben mendarat di ulu hati Agil. Agil terjatuh berlutut dan mengeluarkan cairan bercampur sedikit darah segar dari mulutnya. Beberapa saat Agil terdiam sebelum akhirnya ia berdiri, menepuk-nepuk pundak Ben dan tersenyum.

   "Makasih." Ben hanya terdiam—hampir melongo dengan sikap Agil—namun Agil yang sudah mengambil langkah duluan membuat Ben hanya bisa menggeleng heran.

   Agil kembali terhenti, di depan kamar lamanya. Bahkan coretan-coretan tangan Agil masih terlukis di pintu itu.

   Ceklek..

   Sesosok yang selama ini membuat Agil sangat frustasi karena tidak bisa melihatnya kini sudah berada di depan matanya.

   Oliv, wanita yang tertunduk lemas dengan kedua tangannya diikat dan piring berisikan makanan yang tumpah di lantai itu dengan perlahan mengangkat wajahnya, memperlihatkan wajah pucat dan tatapan hampir kosongnya.

Marrying Dear Teacher ✔ (Tersedia di Gramedia dan Shopee)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang