Aku terbangun.
Lagi-lagi aku bermimpi tentang Samuel. Aku bahkan tidak tahu kabarnya lagi setelah hampir sepuluh tahun dia meninggalkanku entah ke mana. Aku uputus asa. Sebenarnya aku tidak tahan untuk menunggu sampai selama ini, atau mungkin aku akan menunggu dia untuk sepuluh tahun ke depan.
Aku juga tidak tahu apa yang terjadi padanya. Dia tidak terbuka padaku, dia tidak pernah menceritakan soal keluarganya dulu -saat kami masih sering bertemu. Yang aku tahu, Samuel itu lelaki brengsek yang suka meniduri wanita. Tapi sialnya, aku justru jatuh hati sampai-sampai aku tidak bisa mengalihkan pikiranku darinya. Aku terlalu berharap banyak padanya. Dan, ya, aku sudah terlanjur memberikan semua hatiku untuk Samuel. Sampai-sampai, tidak ada lagi yang bisa aku bagi untuk lelaki lain selain orang itu.
Oke. Panggil aku wanita yang gagal move on. Aku mungkin terlalu percaya pada Sam bahwa dia akan menemuiku lagi. Lord.. Ini sudah sepuluh tahun, umurku sudah tiga puluh satu-sebentar lagi tiga puluh dua- dan dia masih belum memperlihatkan keberadaannya padaku. Tapi satu hal yang aku yakini, dia baik-baik saja sekarang. Sam akan menemuiku dan aku sangat berharap itu akan terjadi dan bukan hanya apa yang aku yakini saja.
Aku putuskan untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke kantor. Aku sudah bukan lagi mahasiswi muda seperti saat kau baca cerita sebelumnya. Aku sudah menjadi wanita dewasa yang memiliki karir gemilang. Silakan katakan jika kau berpikir bahwa aku sombong. Selama hampir sepuluh tahun tarakhir, aku belajar banyak tentang kedewasaan dan terutama komitmen. Maka dari itu, komitmen yang aku buat dengan Sam dulu tidak bisa aku ingkari begitu saja. Itu seperti aku merobek nadiku sendiri. Komitmen itu sudah mendarah daging di hidupku. Walaupun aku tidak yakin bahwa Sam akan ingat dengan komitmen yang kita buat dulu. Oh, atau mungkin memang aku saja yang terlalu berharap pada Sam.
Ya, Lord. Samuel...
Aku merasa seperti mayat hidup saat tahun-tahun pertama kau meninggalkanku. Rasa-rasanya aku seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup saat di kampus. Saat wisuda pun-walaupun aku mendapatkan predikat lulusan terbaik- aku merasa aku tidak bahagia. Aku selalu menangisimu, Sam. Hampir di sepanjang hidupku selama sepuluh tahun ini. Aku kesulitan untuk melupakanmu. Aku tidak tahu caranya untuk lepas dari keterbiasaanku ini. Oke, aku berlebihan lagi. Aku tidak mau setiap pagi aku kacau karena Sam. Aku harus profesional.
Maka dari itu, setelah selesai dengan kesedihanku karena ditinggal Samuel, aku menjalankan mobilku untuk sampai ke kantor. Ya, aku sudah punya mobil -walaupun ini fasilitas kantor- sekarang. Ah, aku bekerja sebagai kepala divisi bagian keuangan di Alf's Hotel. Itu milik Alfian Sasongko. Dia sudah tua tapi masih tampan seperti usia 30 tahunan. Dia bahkan sudah memiliki empat orang anak dan dua di antaranya adalah kembar. Aku bekerja padanya saat hotel ini dibuka pertama kali delapan tahun lalu waktu aku lulus kuliah. Aku senior paling lama di sini. Sebenarnya ada beberapa orang lagi yang bekerja sejak hotel ini berdiri, tapi kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk resign karena alasan beragam.
Setelah melakukan absen dengan ibu jariku pada sensor hijau, aku langsung bergegas ke ruanganku. Seperti biasa, Eddie sudah menyiapkan kopi hitam -yang selalu menjadi ritualku di pagi hari- di mejaku. Melihat cangkir itu tergolek anggun di atas meja, aku tersenyum kecil dan meletakkan tasku sebelum akhirnya aku menikmati secangkir kopi yang sejak tadi seolah merayuku agar segera aku cumbu.
Aku mendesah nikmat. Menggulung layar laptopku untuk memeriksa email yang masuk. Dulu Sam bilang padaku bahwa aku tidak boleh mengganti nomor ponsel dan alamat emailku harus selalu aktif agar suatu saat nanti-entah kapan- dia bisa menghubungiku dengan mudah. Omong kosong.
Haruskah aku menyerah sekarang?
Haruskah aku mulai melupakan Samuel setelah sepuluh tahun sialan ini?
Aku sudah terlalu lama menyendiri dan keterbiasaanku menunggu Samuel sudah melekat di jiwaku yang hampa. Jadi, mungkin aku tidak akan keberatan kalau pun lelaki itu menyuruhku untuk menunggu seribu tahun lagi. Tidak. Aku bercanda. Aku tidak serius. Ya ampun, aku bahkan nyaris mati karena terlalu lama menunggu. Aku sekarat, Samuel Idiot! Aku sekarat. Ya Lord...
Sepuluh tahun...
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu seseorang. Semua teman-teman seangkatanku waktu kuliah dulu sudah menikah dan memiliki anak-anak yang lucu. Dan aku? Aku masih sibuk menyakiti diriku sendiri untuk menunggu Samuel. Sempat terbesit di pikiranku kalau di tempat dia berada sekarang, orang sialan itu sudah menikah dengan wanita lain yang ia temui di cafe atau bar atau klab. Tapi kenapa sulit sekali untuk merubah jalan pikiranku? Apa aku sanggup akan kenyataan yang tidak aku ketahui selama ini?
Tanpa sadar aku meneteskan air mataku, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...