Sam? Apa Kau Melihat Celana Dalamku?

966 101 35
                                    

Sumpah demi apa pun, aku benar-benar merasa bersalah. Aku merasa aku adalah wanita paling jahat karena sudah membohongi Sam. Aku tahu dia pasti kecewa dan marah , tapi dia lebih memilih diam dan tidak menunjukkanya padaku. Saat aku pikir Samuel akan membahas atau meminta penjelasan tentang masalah barusan, ternyata aku salah, Sam sama sekali tidak membahasnya. Sam justru hanya mengantarku sampai di depan pintu apartmenku dan tidak berniat untuk mampir. Bahkan saat Sam menciumku, aku bisa merasakan emosinya yang menggebu-gebu. Aku bisa menangkap dengan baik bahwa Samuel benar-benar marah padaku.

Sekarang sudah pukul tiga pagi—hampir empat — dan aku belum mendapatkan kabar apa pun dari Samuel. Dia tidak biasanya seperti ini, Lord! Sam selalu mengabariku setelah dia pulang dari apartmen. Dia pasti menelefon atau paling tidak dia mengirimiku pesan singkat. Aku gelisah dan merasa cemas sekarang. Dan yang saat ini mendominasi seluruh perasaanku adalah perasaan bersalah karena aku telah membohongi Samuel.

Aku tahu aku bodoh. Aku seharusnya jujur pada Sam kalau Langit mengajakku bertemu keluarganya, jika dia marah setidaknya aku sudah berkata jujur dan tidak menutupi apa pun. Tapi kenyataannya sekarang? Aku sudah berbohong dan aku tahu tidak ada manusia yang akan terima jika dibohongi oleh orang lain termasuk kekasihnya sendiri.

Lord, apa yang harus aku lakukan?

Aku benar-benar berada di titik buntu di mana aku tidak tahu harus berbuat apa kecuali menunggu Samuel sampai dia membalas kabarku. Aku bahkan sudah menelefonnya ribuan kali dan dia tidak juga menjawabnya. Itu jelas pertanda bahwa dia sedang marah padaku. Kesal atau mungkin bisa saja dia membenciku karena masalah ini.

Aku menggeser-geser layar ponselku dengan bosan. Keluar-masuk aplikasi Whatsapp dan membuka profil Sam dan melihat kapan terakhir dia membuka Whatsappnya. Dan itu jelas tertulis bahwa dia baru saja melihatnya sekitar empat puluh menit lalu. Dia benar-benar hanya membaca dan mengabaikan pesanku. Aku merasa Sam berada di ujung jemariku dan bersiap untuk pergi. Aku takut kehilangan Sam lagi. Tapi bisa dipastikan bahwa Sam tidak akan pernah kembali.

Aku membuka profil Whatsapp Jeff setelah melihat pembaruan statusnya tiga menit lalu. Dia masih terjaga, pikirku. Haruskah aku menelefonnya? Setidaknya aku bisa bercerita tentang masalahku sekarang, walaupun aku tahu Jeff pasti akan malas mendengarkannya.

Tapi, ya, tidak ada salahnya mencoba, 'kan?

Nada rendah terdengar di ujung telefon. Setelah beberapa kali berdering, Jeff mengangkatnya dan suara serak menjawab panggilanku.

"Lika? Kau kah itu?"

"Umm, yea ini aku. Kau masih hidup, Jeff?" Aku menggigit kukuku dan menghempaskan tubuhku ke atas sofa dan berbaring di sana. Kemudian aku mendengar Jeff tertawa renyah.

"Sampai detik ini, ya. Kenapa kau belum tidur?"

"Aku hanya belum menemukan kantukku. Bagaimana denganmu? Kau di mana sekarang?

"Oh, aku sedang di tempat temanku menonton bola. Ada sesuatu mengganggumu, Lika?"

"No—Yeah, sebenarnya iya." Aku mendesah frustrasi.

"Baiklah, Lika. Kau bisa menceritakan masalahmu padaku. Kau tahu, 'kan? Selain tampan, aku juga pendengar yang baik." Jeff mulai sikap konyolnya lagi, tapi itu sukses membuatku tertawa kecil.

"Well, aku baru dengar tentang itu darimu, Tuan Tampan."

"Nah, sekarang apa? Kau mulai jatuh cinta denganku?"

"Sepertinya aku salah menelefon orang," aku mencebik kesal karena aku butuh saran yang tepat atas masalah ini, bukan pembahasan konyol seperti ini, Jeff.

"Ha ha, baiklah maafkan aku. Jadi, masalah itu tentang hubungan kau dan Samuel? Aku benar, 'kan?" Jeff terdengar lebih serius sekarang. Syukurlah.

Madness (Sequel- PRECIOUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang