Aku lapar.
Dan itu membuat tidurku menjadi tidak nyenyak. Tapi saat aku bangun dan tahu pukul berapa sekarang, aku justru terperanjat karena saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Beruntunglah karena sekarang hari sabtu. Aku membuka selimut yang membelit tubuhku dan aku turun dari ranjang. Mengikat rambutku yang sangat berantakan, lalu aku membuka kemeja linenku dan membuangnya ke lantai.
Sungguh, aku masih sangat ngantuk sekali. Tapi aku harus makan sesuatu jika tidak mau pingsan karena siang ini aku harus pergi ke tempat Hansel untuk gym.
Aku melihat sekeliling kamarku yang sepertinya tampak berbeda. Aku mengambil air mineral yang terletak di meja kayu bundar yang aku pikir itu bukanlah seperti milikku, karena aku tidak ingat pernah membelinya.
Aku membuka rok hitam yang tergantung di pinggulku untuk segera mandi. Namun saat rok itu sudah berada di antara mata kakiku, pintu toilet terbuka dari dalam secara tiba-tiba.
Demi Tuhan!
Aku seperti melihat Medussa dan detik berikutnya aku sudah menjadi patung batu yang membuatku tak dapat bergerak sama sekali. Tubuhku mendadak kaku dan aku benar-benar berharap bahwa aku bisa menghilang saat ini juga.
"Sedang apa kau di sini?!!" aku berteriak dan segera menutup dadaku serta bagian bawahku yang hanya mengenakan bra dan underwear. Aku berlari kecil ke arah ranjang untuk menyambar bed cover secepat mungkin, namun usahaku gagal karena kakiku tersangkut rok yang berada di antara mata kakiku. Aku pun jatuh tersungkur dengan tubuh mendarat terlebih dulu.
Triple sialan!
Aku malu!
Langit mendekat saat dia sadar bahwa aku tersungkur dengan tidak cantik di hadapannya. Namun aku lantas bangkit dan memasang wajah antisipasiku agar dia tidak mendekat. Baiklah, aku akui, aku takut. Aku tidak mengenakan apa pun kecuali pakaian dalamku. Bagaimana jika...jika...Langit terangsang? Tapi lain ceritanya jika dia tidak normal. Dan sialannya, Langit adalah pria normal yang aku yakini pasti memikirkan hal buruk saat melihat wanita hampir telanjang di depan matanya.
"Kalau kau lupa, kita memang tidur satu kamar malam ini."
Aku mengingat kejadian semalam. Dan aku mengutuk diriku sendiri. Bagaimana aku bisa lupa kalau semalam aku setuju untuk tidur di kamar yang sama dengannya? Tapi, tunggu? Bukankah persetujuan itu termasuk dengan pengikatan ke dua tangannya? Tapi kenapa sekarang dia bisa?
Oh, Lord!
Yang benar saja?
Mungkinkah?
No! No! No!
Aku membulatkan mataku dan detik itu juga aku melempar stiletto yang ada di bawah ranjang tepat mengenai dahinya.
"Hei! Kau ini kenapa?!" dia meringis sambil menyentuh dahinya yang sekarang berubah menjadi merah. Aku yakin, dua hari lagi dahinya akan sebesar bola bisbol.
"Kenapa kau bisa lepas dari ikatan yang aku buat? Jangan bilang kau sudah berbuat macam-macam padaku? Dengar, Langit. Kau memang bosku, tapi jika kau menyentuhku maka kau akan celaka!" aku kembali mengancamnya dengan stiletto yang satunya lagi. Menodongkan sepatuku ke arah wajahnya dan dia masih sempat-sempatnya menggodaku dengan senyuman menyebalkannya.
"Kau seharusnya mengikat mati ikatanmu, tapi kau justru membuat simpul pita. Anak TK bisa membuat ikatan yang lebih bagus darimu."
Ha? Yang benar? Aku tidak ingat jika aku membuat simpul pita pada ikatannya.
Tapi masa bodo! Dia sudah melanggar persetujuan, dan aku benar-benar akan sangat murka padanya. Aku tidak peduli walaupun dia memecatku, sama sekali tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...