Samuel's Point of View.
Ini adalah kebahagiaan yang tak pernah aku rasakan. Ternyata benar apa yang dikatakan Paul, bercinta berbeda dengan bersetubuh. Jika kalian melakukan hubungan intim hanya melibatkan nafsu maka rasanya jelas berbeda jika kalian melakukannya atas dasar cinta dan perasaan. Maka aku yakin bahwa itu benar adanya. Aku tidak pernah menemukan kebahagiaan setelah berhubungan intim dengan wanita manapun di seumur hidupku. Tapi sekarang, aku merasa menjadi pria paling bahagia yang pernah ada di dunia ini. Aku menatap wajah Lika yang tertidur pulas di atas dadaku. Mengusap lembut rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Bibirnya terbuka dan napasnya berhembus dengan teratur.
Aku mengusapnya dan mencium keningnya sementara kantuk makin gencar menyerang mataku.
Dan saat aku terbangun, aku tidak mendapati Lika ada di sisiku. Mataku mengedar dan telingaku menangkap suara berisik dari arah dapur. Aku beranjak dan memakai T-Shirt lalu melangkah mendatangi asal suara. Ternyata itu Lika, sedang sibuk dengan kompornya. Wangi masakan yang entah apa sedang ia buat itu membuat perutku mendadak lapar. Maksudku, dalam artian lapar yang sesungguhnya.
Aku tertawa kecil dan melihat ke arah jam yang menempel di dinding. Masih jam lima? Apa dia selalu bangun sepagi ini?
Dia bahkan tidak sadar bahwa aku sedang bersandar di badan kulkas dan memerhatikan wanita kesayanganku yang terlihat sangat bahagia sekali di pagi buta ini.
Kemudian Lika berbalik sambil memegang penggorengan di tangannya, ia berjengit kaget melihatku dan tawanya keluar dengan spontan.
"Kau mengagetkanku, Sam." Dia menggeleng dan mulai menuangkan scramble egg di atas piring.
"Kenapa kau bangun pagi sekali?" Aku menghampiri dan mencoba membantu sebisaku.
"Yeah, Langit memintaku untuk datang ke apartemennya jam enam ini." Lika mengangkat bahunya dan meletakkan penggorengan di atas pencuci piring.
Tunggu...
Langit meminta Lika untuk datang ke apartemennya sepagi ini? Urusan apa? Apa dia tidak bisa menunggu sampai jam kantor saja?
"Aku akan mengantarmu," tanganku mengambil dua piring berisi telur dan membawanya ke sofa. Lika mengintip saat ia mengambil air mineral dari dispenser.
"Bukankah kau harus ke Bali?"
"Pesawatku berangkat jam sebelas."
Lika mengangguk mengerti dan kami memakan sarapan yang terlalu pagi ini.
"Sam, apa kau bisa menjanjikan suatu hal padaku?" Lika tiba-tiba bertanya.
"Apa itu babe?"
Wanitaku mengambil napas dalam-dalam dan menatap piring kosong di atas meja.
"Kumohon, berjanjilah kalau kau tidak akan melakukan apa pun dengan Amel di belakangku."
Aku terdiam, menatap wanita paling tulus yang pernah Tuhan ciptakan di dunia. Aku sangat mencintai Lika, bagaimana mungkin aku tega menyakitinya? Walaupun tanpa aku sadari, aku sering membuatnya menangis. Aku meraih telapak tangannya dan menciumnya dengan lembut, menarik dagunya agar menatap ke dasar mataku. Setidaknya dia tahu bahwa aku bersungguh-sungguh.
"Lika, dengar. Aku tidak akan melakukan apa pun dengan Amel, aku berjanji, aku bersumpah."
"Terimakasih, Sam. Itu sedikit meringankan rasa cemasku."
"Setelah aku pulang dari Bali, aku mungkin akan mengajakmu liburan. Bagaimana?"
Lika terlihat senang saat aku mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...