Selain menyibukkan diri untuk bisa melupakan suatu masalah, apa yang akan kalian lakukan?
Ya, mungkin bekerja dan memforsir tenaga adalah salah satunya. Aku terus berusaha untuk membuat pikiranku sibuk agar aku tidak memikirkan Samuel. Dan kurasa, ya, ini sedikit berhasil. Nyatanya, aku bisa melupakan pria itu barang sesaat. Ini sudah hari ke dua sejak kejadian itu dan Samuel belum memperlihatkan batang hidungnya padaku. Padahal aku berharap dia datang dan menjelaskan semuanya, tapi aku pikir tidak ada lagi hal yang harus dijelaskan karena dia pun tidak mempunyai niat sama sekali untuk menemuiku atau memperbaiki hubungan ini.
Aku pikir aku sudah mengambil langkah paling benar saat aku memutuskan untuk menunggu dia selama sepuluh tahun, tapi sekarang aku sadar, sepuluh tahun itu hanyalah sia-sia. Tapi aku tidak menyesal sedikit pun, setidaknya aku lega karena akhirnya dia datang menemuiku lagi. Walaupun akhirnya seperti ini. Aku sama sekali tidak berharap ini akan berakhir. Aku mencintai Samuel. Sangat mencintainya. Tapi apa yang harus aku lakukan jika Samuel hanya menganggap sepuluh tahun penantianku bukanlah suatu hal yang sulit dilakukan. Aku sadar sekarang, mungkin ini waktunya aku mulai merelakan Samuel.
Tapi ini sangat sulit!
Lebih sulit dari aku menunggunya tanpa kepastian selama beberapa tahun kemarin.
Aku mendesah dan meminum kopi hitamku lagi. Aku memijat pangkal hidungku yang membuatku pening. Sungguh, aku benar-benar sakit sekarang. Aku tidak tahu apakah kali ini aku akan sembuh atau aku akan mati. Mati dalam artian, aku tidak akan mempunyai keberanian untuk mulai mencintai seseorang lagi.
Ah, sudahlah. Aku harus membiarkan ini mengalir seperti biasa. Tidak perduli sesakit apa, sehancur apa hatiku sekarang. Yang jelas, aku harus bisa melangkah dan mulai berjalan di jalanku sendiri. Tanpa Samuel—setidaknya jika dia benar-benar tidak menjelaskan apa pun sampai malam ini.
"Lika," Adel menyapaku dan bersandar di dekat kubikelku. Dia sedang meniup teh panas beraroma melati di cangkir putih yang sedang ia pegang.
"Apa, Adel?" Sahutku mendayu dan tersenyum memperlihatkan gigiku.
"Ada yang mencarimu,"
Aku lantas menoleh ke arah perempuan cantik dengan hidung yang sedikit mancung di depanku.
"Seorang pria?" Tanyaku penasaran. Aku berharap seribu persen kalau itu adalah Sam.
"Ya,"
"Apa dia....bertato?"
"Uh—aku tidak tahu kalau yang kau maksud pria bertato, jelas itu bukan. Karena yang mencarimu adalah Lucas."
Aku mengernyit dan bertanya pada diriku sendiri di dalam hati. Lucas? Benarkah? Untuk apa dia mencariku?
"Lucas? Lucas suaminya Mona?"
"Ya, Lucas yang itu."
"Oh, baiklah. Di mana dia?"
"Di lobby,"
Aku mengangkat alisku dan beranjak dari kursi. Merapikan sedikit pakaianku yang kusut dan melangkah pergi ke arah lobby di bawah. Aku bertanya-tanya, untuk apa Luas mencariku? Maksudku, apa ada hal penting yang menyangkut dengan Mona sampai dia datang ke sini?
Mungkin akan aku tanyakan itu nanti. Pintu lift terbuka setelah membawaku turun dari lantai atas. Aku langsung melangkan menuju ruang tunggu yang ada di lobby kantorku. Di sana sudah ada Lucas sedang duduk dan mengenakan pakaian santai. Polo Shirt dan celana pendek berwarna cokelat muda. Dia terlihat sedikit kacau dari terakhir aku bertemu dengannya.
"Hi," aku berdiri di depan Lucas dan dia beranjak dari posisi duduknya untuk bersalaman denganku.
"Lika, bagaimana kabarmu?" Dia berbasa-basi dan kembali duduk setelah aku duduk terlebih dulu di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...