Itu Bukan Anaknya Lucas.

1.1K 92 2
                                    

Jadi, biar aku ceritakan kejadian kemarin saat Samuel menciumku. Ya, kalian benar. Kami berciuman. Tapi itu sangat terburu-buru sehingga aku atau kami bahkan tidak bisa menikmatinya dalam pagut. Dan sejujurnya saja, aku masih bersemu merah akibat ciuman itu bahkan sampai detik ini. Di mana aku sedang makan siang bersama Langit dan para kolega bisnis sekaligus teman-temannya. Perasaan hangat ini sangat menyenangkan dan sedikit memalukan juga. Karena aku tidak bisa menahan senyum bahagiaku di depan Langit dan yang lainnya. Itu membuatku terlihat seperti orang yang kurang waras.

Well, Samuel memang berhasil membuatku kurang waras sejak dia memberikan ciuman pertamanya saat di apartmenku.

Dan juga, Sam akan menjemputku sore ini di kantor. Karena sesuai jadwal dari Si Pirang , dia sudah memiliki janji untuk makan malam bersama Ibunya. Dan tentu saja aku tidak akan ikut. Oh, ya, dan sejak kejadian di Bali, saat Langit memelukku sepanjang malam, dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua. Bukan aku bermaksud untuk berharap dia mengatakan sesuatu atau apa. Tapi, rasanya aneh saja jika Si Pirang itu tidak membahasnya atau minimal meminta maaf padaku.

Ya, aku tahu dia mabuk waktu itu. Mungkin dia juga tidak ingat apa yang sudah ia katakan padaku malam itu.

"Yeah, yang seperti kau tahu, Lang. Produk kecantikan sedang gencar di Indonesia. Mungkin ada baiknya jika kau bekerja sama dengan perusahaan Amor Beauty." Ucap salah satu rekan bisnisnya Langit. Namanya, Husein.

"Aku sudah cukup lama mendekati ownernya, setelah aku tinjau dari pendekatan beberapa minggu terakhir, Sena adalah orang yang sangat rumit." Jawab pria di sebelahku.

"Memang dari berita yang aku dengar, Sena memiliki masalah soal kepercayaan. Dia pernah dikhianati oleh orang kepercayaannya."

"Ya, aku tahu. Pengkhianat itu menjual rahasia perusahaan pada Jill's Cosmetics."

Jika kalian penasaran, Langit tahu berita itu dari aku. Bagaimana? Aku hebat, 'kan?

"Itu rahasia umum." Ujar pria berkepala plontos dengan kacamata yang aku yakin harganya mampu membeli sebuah mobil itu. Namanya, Leo.

"Mungkin kau harus mendekatinya secara intens. Kau tahu? Semacam mendekati wanita untuk mengencaninya." Ujar Leo memberi solusi. Aku sedikit melirik ke arah Bosku dan cukup sadar bahwa dia menahan senyumannya.

"Eh, bukankah Langit mempunyai hubungan dengan model majalah dewasa itu? Siapa namanya?" Husein bertanya pada Leo dengan gestur wajah penasaran.

"Ah, sudahlah. Jangan bahas perempuan itu." Langit mengubah air wajahnya. Dia terlihat sama sekali tidak tertarik untuk membahas model majalah dewasa itu.

Semua temannya Langit tertawa geli dan melanjutkan obrolan mereka. Well, mereka sama sekali tidak menganggap aku ada di sini. Karena sesekali obrolan mereka melenceng dari jalurnya. Aku harap kalian mengerti apa maksudku. Ya, beberapa kali Husein membahas tentang perjalan cinta satu malamnya yang ia temui di klab malam. Entah kenapa, justru aku yang bersemu merah di sini. Aku merasa ini bukan pembahasan yang ingin didengar telingaku.

"Permisi, maaf, Pak. Aku pikir aku harus ke toilet." Aku meminta izin pada Langit saat melihat situasi di meja ini sedang tidak membahas apa pun dan sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Ya." Jawabnya dingin. Ke mana Langit yang banyak omong seperti malam itu?

Aku mendengus kecil dan beranjak pergi ke toilet.

Well, akhirnya...

Aku selesai dengan bilik toilet. Sekarang aku sedang bercermin dan sedikit merapikan pakaianku yang sedikit kusut. Beberapa kali menyisir rambut dengan jari-jari tanganku, dan tidak ketinggalan untuk memoles lipbalm ke bibirku. Tersenyum pada diriku sendiri di cermin sebelum akhirnya pergi meninggalkan toilet ini.

Madness (Sequel- PRECIOUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang