"Kau ingin tahu, 'kan apakah aku dan Samuel itu berteman atau tidak?"
Dia berdesis tepat di depan wajahku. Sekarang aku sadar bahwa Langit sedang mabuk. Karena mulutnya sangat bau sekali alkohol dan wajahnya benar-benar kacau. Lagi pula itu bukanlah masalah besar bagiku jika mereka berteman atau tidak. Tapi di situasi seperti ini aku pikir mereka memang tidak berteman. Langit menatapku seolah dia benci padaku atau sangat benci pada Samuel. Ada bara api yang menyala di bola matanya dan itu sangat menyeramkan jika kalian bertanya-tanya. Pikiran negatif dan tidak masuk akal lainnya terus menggelayuti otak kecilku. Ya, Lord! Apakah Langit akan mencekikku sampai aku kehabisan nafas dan akhirnya mati?
"Aku ingin kau jujur, Zulika. Apakah kau takut sekarang?" Tanyanya lagi. Siapa yang tidak takut di saat ada seorang pria mencekikmu hanya karena sebuah pertanyaan apakah dia berteman dengan pacarmu atau tidak? Astaga! Apakah itu bahkan sesuatu hal yang penting untuk aku ketahui?
"Aku tidak takut. Aku hanya butuh ruang jika kau tidak keberatan." Jawabku pelan dan Langit terus menatapku dengan tatapan yang sangat tidak aku ketahui apa artinya.
Detik berikutnya, dia melepaskan cengkraman tangannya dari leherku sehingga aku merasa aku hidup kembali. Entah ada angin apa, aku merasa dia tidak akan menyakitiku walaupun perlakuannya barusan terlihat seolah dia berusaha keras untuk menghabisi nyawaku. Si Pirang yang lantas membuat tercenung adalah dia duduk di tepi ranjang dengan tubuh tertunduk lesu seperti pria yang baru saja di PHK. Baiklah, maaf ini sama sekali tidak lucu.
"Jika selama ini kau bertanya-tanya, kenapa aku selalu menyembunyikan tangan ini, maka kau akan mendapat jawabannya sekarang." Ujarnya secara mendadak yang membuat dahiku mengkerut karena tidak menyangka dengan apa yang baru saja Langit ucapkan.
"Apa maksudmu? Itu sama sekali tidak membuatku penasaran."
"I saw! Aku tahu kau—semua orang melihatku dengan tatapan aneh pada tanganku ini." Dia menaikkan nada bicaranya. Lord! Apa aku bahkan membuat kesalahan?
"Itu bukan masalah bagiku jika kau tidak ingin memberitahunya maka tidak usah." Aku berusaha mengatakan sesuatu dengan nada serendah mungkin. Pria ini sedang mabuk, ingat? Dia bisa saja menggorok leherku karena efek dari alkohol yang dia minum.
Dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arahku. Kali ini dia menatapku dengan tatapan sendu dan aku mulai merasa terenyuh. Atau mungkin kasihan padanya. Ya, Lord! Apa gerangan yang terjadi? Apa yang ada di otaknya? Kenapa Si Pirang ini membuatku bingung, sih?
"Samuel yang melakukan ini padaku." Ujarnya saat dia mengangkat telapak tangan itu lalu menatapnya dengan mendengus pelan. "Dia melakukan ini padaku, Zulika. Dia memotong jariku dan mematahkan semuanya."
Langit tertawa. Sementara aku tercenung dengan jantung berdebar sangat kencang.
What the heck?!
"Apa....kau bercanda, 'kan?" Aku meringis.
"Apa aku bahkan terlihat seperti sedang bercanda?!" Nada bicaranya kembali tinggi.
"Aku—aku hanya."
"Kau bayangkan, Zulika. Samuel adalah teman baikku dan aku tahu semua kebusukannya dia. Dia dan Ayahnya memperdagangkan perempuan secara ilegal. Dia tidak baik untukmu! Kau fikir aku tidak tahu kalau Samuel itu buronan? Kau lupa, ya? Ayahku adalah seorang pengacara kondang. Aku bisa saja melaporkan pada polisi jika Samuel sudah muncul dari tempat persembunyiannya selama ini."
Oh....God!
Aku akan terkena serangan jantung sekarang. Apa maksudnya Si Pirang ini?!
Dia sedang mabuk. Jadi, aku tidak harus memercayai ucapannya. Lagi pula, kenapa Langit harus mengatakan itu? Dan jujur saja, aku takut jika Langit benar-benar akan melaporkan Samuel pada polisi. Itu artinya...oh tidak-tidak. Ini tidak boleh terjadi. Lagi pula, aku pikir Langit sudah cukup dewasa untuk memaafkan kesalahan Samuel di masa lalu. Mereka mungkin saja salah paham sehingga Sam melakukan tindakan buruk pada Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...