Perhatikan Baik-Baik Bagaimana Seorang Handal Memainkan Ini.

1.4K 90 12
                                    

Aku harus mengikuti acara amal yang diselenggarakan oleh Sena di Nusa Dua. Langit dan wanita itu sedang berbincang dengan sangat akrab di tengah-tengah pesta setelah acara dimulai satu jam dan sudah melewati acara inti. Para tamu sedang menikmati jamuan dan berbincang satu sama lain. Begitu pula Langit.

Dasar penjilat!

Aku berdecih saat Langit dengan ramahnya membawakan Sena minuman dengan gaya yang sangat jantan. Dia melakukan itu karena ada maunya saja. Buktinya dia tidak pernah memperlakukanku seperti itu.

Eh?

Tapi aku tidak berharap juga, sih.

Langit akan ada di Bali sekitar dua atau tiga hari. Mungkin saja bisa lebih. Langit kan sedikit idiot. Aku tidak tahu kenapa dia ingin berada di sini selama itu. Yah, kurasa itu karena dia ingin lebih dekat dengan Sena. Aku jadi sangsi dengan niatnya yang hanya ingin kerjasama. Langit terlihat seperti sedang mendekati Sena untuk mendapatkan hatinya. Atau mungkin dia hanya bersikap profesional?

Oh, atau kelewat profesional?

Aku hampir mati bosan di sini. Tidak ada yang kukenal. Jeff bahkan tidak ikut karena ini memang bukan wilayahnya. Dan, aku terus terngiang dengan janjiku padanya. Apa yang akan aku berikan pada Jeff? Yang bisa membuatnya terkesan. Tapi bukan terkesan agar dia menyukaiku. Bukan artian seperti itu. Aku hanya...yah kau tahu? Aku hanya berusaha untuk menepati janji saja. Sekarang aku sadar betapa idiotnya aku. Aku menjanjikan sebuah hadiah dan aku sendiri tidak tahu hadiah apa yang akan kuberikan. Sangat cerdas sekali. Mungkin seharusnya aku memang harus memecahkan masalah ini Mona. Aku harap dia bisa membantu.

"Bosan? Ingin jalan-jalan?" suara berat itu terdengar dari arah belakang saat aku sedang bersandar di ujung meja panjang di mana makanan dan minuman disajikan. Si Pirang itu meletakkan gelasnya di atas meja dan ikut bersandar di sebelahku. Aku tidak ingin bertanggung jawab jika tiba-tiba meja ini patah karena kami berdua bersandar di sana. Jadi, sebelum dia benar-benar mendaratkan tipisnya di sebelahku, aku menggeser tubuhku menjauh darinya.

"Well, sebaiknya kau membawaku kembali ke hotel atau ke Jakarta saja jika perlu." kataku sinis.

Oh, dia menggerai rambutnya. Aku pikir dia jadi mirip dengan Jon Bon Jovi jika berpenampilan seperti ini. Untung saja dia CEO, dab punya banyak uang. Jika bukan, maka dia terlihat seperti gelandangan atau pengangguran.

Ya, Lord!

Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa berhenti bersikap kasar pada Langit? Ya, walaupun aku tidak menumpahkannya secara langsung. Tapi aku merasa aneh. Aku bahkan tidak pernah kenal dengan Langit sebelum aku bekerja di sini. Tapi bisa saja ini karena peringatan Jeff tentang Langit. Dan, oh, Sam juga pernah memperingatkan tentang Langit. Aku tidak mengerti, jadi mungkin inu hanya sugesti saja.

"Dasar si mulut tajam!" dia berguman dengan nada yang cukup kencang sehingga aku bisa mendengarnya dengan jelas. "Kau sangat ingin pulang, ya?" pria itu mendengus kecil kemudian. Tentu saja aku ingin segera pulang. Sekarang sudah ada Samuel, dan aku terus ingin bertemu dengannya.

"Aku bosan, dan aku tidak terlalu suka berada di tengah pesta orang kaya." aku menenggak minumanku dan menaruh gelas kosongnya di atas meja.

Ini memang kebiasaanku-atau mungkin kebiasaan banyak orang. Aku selalu menyeka air yang ada di atas bibirku saat aku selesai minum. Dan itu berlaku sampai sekarang. Tapi kurasa, tidak untuk momen kali ini.

Karena, yah...Langit menarik pergelangan tanganku dan menahannya. Aku sampai menahan nafas saat dia melakukan itu. Apa maksudnya, sih Si Pirang ini? Bikin kaget saja.

"Berhentilah bersikap seperti anak kecil. Kau ini sudah tua." katanya datar dan tanpa kusadari, Langit mengeluarkan sapu tangannya dan menyapu air yang menempel di atas bibirku. Eh-tunggu...apa dia baru saja bilang kalau aku sudah tua?

Madness (Sequel- PRECIOUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang