Aku menggeliat di ranjangku. Tulang punggungku terasa seperti aku dipukuli oleh dua ratus orang dewasa, aku sangat lelah dan aku bahkan tidak dapat merasakan kakiku–terlebih semalam aku merasakan betisku kram saat aku baru tidur dua jam. Itu sangat sakit sekali dan aku ingin tidur seharian saja, kumohon. Langit benar-benar merepotkan, dia seribu kali lebih merepotkan ketika sakit. Aku sudah membawanya ke klinik dan dokter bilang kalau Langit terkena gejala tifus. Yang lebih merepotkan adalah aku juga harus menangani pekerjaan di kantor dan aku baru bisa pulang setelah memastikan bahwa Langit masih bernafas. Itu pukul dua pagi jika kalian penasaran. Itulah kenapa pagi ini aku merasa sangat letih, karena ini sudah hari ke tiga Langit sakit dan aku merasa bahwa aku akan ikut sakit sebentar lagi.
Aku mengusap mataku yang seakan enggan sekali untuk terbuka, menyambar ponsel yang aku simpan di atas nakas aku sedikit terkejut saat mengetahui ini sudah cukup siang. Dengan perasaan malas yang mendominasi diriku, aku bergerak dengan lambat menuju kamar mandi. Membersihkan diriku agar terlihat lebih baik, setidaknya penampilanku tidak seperti wanita frustasi dengan rambut singa yang penuh kutu. Tiga puluh menit berlalu, aku siap untuk kembali ke apartemen Langit. Dia meneleponku dan memintaku untuk mengurus beberapa pekerjaan dengan Husein siang ini.
Oh, tentang hotel itu..
Nyatanya Langit menyewa kamar itu bukan untuknya, tapi untuk salah satu kolega yang datang dari Singapura. Malam itu memang Langit mengajak Samantha menemaninya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada otakku yang terkadang sialan ini, tapi aku senang mendengar Langit tidak menginap dengan pacarnya di sana. Hei, aku hanya senang saja. Lagi pula yang aku tahu dari apa yang aku dengar–dengan cara menguping— Samantha itu ternyata sudah memiliki pasangan. Aku bahkan bisa melihat cincin emas putih yang ia sematkan di jari manisnya.
Baiklah, mari kita lupakan tentang mereka.
Aku membuka pintu untuk memulai hariku dengan perasaan sedikit lelah dan banyak mengantuknya. Aku pikir itu adalah Samuel karena dia bilang kalau hari ini akan pulang, tapi aku benar-benar terkejut saat melihat Mona berdiri dengan lesu di depan pintu apartemenku. Wajahnya sembab, rambutnya berantakan seperti dia tidak menyisir rambutnya selama dua dekade dan koper besar di belakangnya.
"Lika.." ucapnya gemetar dengan gerakan cepat dan tanpa aku sadari lagi, Mona menerjang tubuhku, memelukku dengan suara serak dan terisak. Jantungku mencelos dan lidahku mendadak kelu. Aku menyentuh punggungnya dengan ragu dan mencoba melepaskan diri.
Dia tampak... frustasi.
"Hei, apa yang terjadi?" Tanyaku khawatir melihat keadaannya yang mengerikan.
"Maafkan aku, Lika. Aku sudah menjadi sahabat paling sialan yang pernah ada." Dia semakin terisak,
"Sudahlah, ayo lebih baik kau masuk dulu." Aku membawanya ke dalam dan mempersilahkan Mona untuk duduk di atas sofa yang sekarang menjadi tempat favoritku untuk...kalian tahu apa maksudku bukan?
"Aku akan mengambilkanmu minum, tunggu sebentar." Segera membuka kulkas dan membawa segelas air dingin untuk Mona. Dia meminum setengah dari gelas panjang itu, beberapa saat Mona menangis dan beberapa saat dia mengambil napas hingga nyaris tersedak oleh liurnya sendiri, kurasa. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi dengan Mona, dia masih sahabatku walaupun aku tahu kejadian saat dia menuduhku berselingkuh dengan suaminya jelas tidak akan membuat atmosfer di antara aku dan Mona kembali harmonis.
"Aku tidak tahu harus ke mana selain mendatangimu, Lika. Aku benar-benar kacau." Dia masih tersedu-sedu dan aku hampir tidak bisa mengerti apa yang ia bicarakan.
"Ceritakan semua padaku, aku akan mendengarnya dengan baik." Aku mengusap punggungnya yang terlihat lebih kurus dari terakhir aku bertemu dengannya. Kami memang satu kantor, tapi Mona hampir tidak pernah datang ke kantor. Dia dipindah tugaskan ke bagian gudang oleh Langit setelah dia mencelakaiku. Aku belum cerita pada kalian, ya? Maaf aku melupakan bagian itu karena setelah pertengkaran kami, aku pikir Mona bukan lagi hal yang penting untuk aku bahas. Tapi kukatakan sekali lagi, Mona tetap sahabatku. No matter what.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...