Ya, Siapa Tahu Kau Mau Menghubungi...Sam?

1.2K 109 7
                                    

Berita baiknya, aku semakin membaik. Dan berita buruknya, aku baru diperbolehkan pulang besok sore. Sialan! Aku sudah berada di sini selama tiga bulan, dan itu membuatku benar-benar mati bosan. Ibu masih setia menungguku di sini, dia selalu berdoa pada Yesus untuk kesembuhanku. Aku benar-benar menyanyanginya. Ibuku yang luar biasa.

Sekarang dia sedang memotong buah di sampingku. Dia bilang, buah itu dibeli dari seorang Kakek di dekat pasar sebelum menuju ke rumah sakit. Ibuku memang jarang sekali ke Jakarta, dia tidak suka dengan keadaan Ibu Kota yang sangat ingar-bingar ini. Bahkan, selama aku tinggal di Jakarta, Ibuku baru lima kali datang ke sini. Itu pun karena aku sakit. Dia tidak pernah mau datang kalau alasannya hanya karena aku merindukan Ibu. Wanita tangguh itu mengatakan, jika aku merindukannya, maka aku yang harus datang ke sana untuk menemuinya.

Ya, padahal aku sangat ingin mengajak Ibu tinggal di apartmenku. Aku ingin merasakan masakan Ibu setiap hari.

Tapi mau bagaimana lagi?

"Kau harus makan yang banyak. Kau benar-benar sangat kurus, Zulika. Ibu bahkan tidak mengenalimu." dia memberiku sepotong buah pepaya dan aku langsung melahapnya.

"Maka dari itu, tinggallah di sini agar pola makanku teratur."

"Kau sudah bukan gadis lima tahun lagi. Kau harus bisa jaga dirimu sendiri jika kau tahu kalau kau hidup di kota ini seorang diri." Ibu kembali menyodorkan sepotong pepaya padaku lagi.

"Ayolah, Bu. Tinggal di sini saja. Tanika bisa kuliah di sini, ada banyak Universitas bagus di Jakarta, Bu."

"Ah, kau ini. Sudahlah, lagi pula ada Langit, Mona dan Jeff. Kau tidak akan kesepian."

"Mereka punya kehidupan sendiri, Bu." aku hampir memutar bola mataku. Tapi aku menahannya.

"Kau pun salah satu dari kehidupan mereka, Lika- Ini, habiskan."

Aku mendesah dan tetap melahap buah yang disajikan Ibu di atas piring.

"Tapi, Bu-"

"Sudahlah, jika kau ingin mempunyai teman untuk mendampingimu setiap waktu, maka segeralah menikah."

"Haaa, Ibu-"

"Bosmu yang rambutnya putih itu, dia terlihat cocok untukmu."

Aku melotot seketika.

"Itu pirang, Bu. Yang benar saja," aku bergumam pada kalimat terakhir.

"Ya, apa saja. Dia baik, dan Ibu menyukainya. Dia juga yang membayar biaya rumah sakit ini. Kita benar-benar berhutang budi pada pria itu."

Aku mendesah saat mencium gerak-gerik Ibu yang mencurigakan.

"Ibu, aku tidak menyukai Langit. Dia hanya bosku. Aku akan membayar hutangku padanya. Ibu jangan khawatir. Lagi pula, aku sudah punya kekasih." ya, belum di sahkan secara teknis, sih. Tapi tidak ada salahnya aku berkata seperti itu pada Ibu, 'kan? Dan Ibu terlihat terkejut pada ucapanku barusan.

"Jangan mengarang, Lika. Ibu tahu kau tidak punya pacar. Jika kau memang punya, ke mana dia saat kau koma?"

Astaga, Ibu benar! Sam bahkan tidak tahu bahwa aku koma.

"Aku sudah punya, Bu. Namanya Samuel. Dia sedang di luar Negeri dan akan kembali besok."

"Benarkah? Pastikan bahwa pria itu adalah pria baik-baik dan tidak bermasalah, oke?"

Aku menganga seketika. Sejujurnya, aku tidak bisa memastikan itu. Secara harfiah, Sam adalah buronan kelas atas selama sepuluh tahun belakangan. Lalu, bagaimana jika Ibu tahu kalau Sam pernah menjadi orang nomor satu yang paling dicari di Negara ini?

Madness (Sequel- PRECIOUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang