"Ini dari purchasing, department security meminta stok ATK." Khilal, salah satu anak buahku bagian akuntan menyerahkan lembaran store request untuk kutandatangani. Aku membacanya untuk tahu apa yang mereka butuhkan, setelah selesai aku pun menorehkan tinta di atas sana dan meng-approve apa yang mereka pinta.
"Terimakasih, Bu." sambungnya lagi kemudian mundur keluar dari ruanganku. Aku mengangguk dan bergumam. Kembali melihat surelku dan mengirim pesan pada atasanku- Gio-. Laporan setiap jam perihal keuangan dan pembayaran giro yang dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Pekerjaanku sangat padat setiap harinya. Laporan setiap satu jam sekali membuatku jauh dari kata santai. Dan untungnya, owner dari hotel ini memberikanku fasilitas yang sepadan dengan apa yang aku kerjakan. Dia sangat pengertian walaupun Pak Sasongko terlihat sangat mengerikan di lain sisi. Tidak seperti Istrinya yang ramah dan sering menebar senyuman, Pak Sasongko lebih dingin dan misterius. Sempat terpikir olehku bahwa orang tua itu tidak memikiki otot senyum seperti kebanyakan orang. Soalnya, hampir di sepuluh tahun aku mengabdi padanya, aku tidak pernah melihat dia melengkungkan sudut bibirnya ke atas. Senyuman itu sangat mahal, kurasa.
Dan yang lebih mengesalkannya lagi, Manajer di hotel ini, Gio- dia sepupu pemilik hotel ini- tidak jauh berbeda dengan Pak Sasongko. Sama-sama menakutkan dan lidahnya yang tajam membuat beberapa karyawan di sini memutuskan untik resign. Gio juga sering memarahiku sewaktu-waktu, tapi ucapan sadisnya itu tak ubah sebagai angin lalu di telingaku. Aku tidak pernah tersinggung atau memasukkan ucapan jahanamnya ke hatiku, karena aku tahu itu hanya umpatan kekesalan yang akan hilang setelah dia mengunyah permen karet kesukaannya. Aku tahu bahwa dia mulai mengonsumsi permen karet sejak empat tahun lalu setelah dokter melarangnya untuk merokok lagi. Dulu, saat pertama kali Gio menjabat sebagai Manajer di sini, dia sangat kurus seperti pecandu obat-obatan terlarang. Aku bahkan mengira kalau dia mengidap anoreksia. Pipinya tirus dan tidak ada aura yang hidup di sana. Tapi setelah Gio berhenti merokok dan menjalani kehidupan sehat, lelaki itu berubah secara signifikan di bagian fisiknya. Tubuhnya menjadi lebih atletis karena sering pergi gym. Pokoknya, Gio terlihat lebih sehat sekarang.
Aku melenggang ke luar ruanganku setelah membaca laporan pengeluaran untuk pembayaran catering yang ternyata tidak balance. Aku langsung memanggil Lucy-yang membuat laporan ini- untuk segera datang menghadapku.
"Ibu memanggilku?" tanyanya saat dia sudah berdiri di depan mejaku. Wajahnya cantik, sekelas anak-anak gaul Jakarta yang hobi datang ke klab malam. Usianya pun masih muda, 24 tahun. Dia selalu menomorsatukan penampilannya setiap datang ke kantor. Barang-barang dari brand terkenal pun tak pernah luput dari tubuhnya. Aku akui, dia perfeksionis dalam urusan penampilan. Tapi otaknya? Dia bahkan sudah melakukan kesalahan dua kali-dan ini menjadi yang ke tiga- dalam sebulan setiap membuat laporan keuangan dari berbagai departement.
"Invoice bulan ini untuk katering berapa, ya?" tanyaku seketika. Aku sebenarnya tidak tahan untuk marah-marah. Ya Lord, ini sangat fatal sekali.
"Um- empat puluh juta sekian, Bu."
Sakit jiwa. Aku sudah bilang pada Gio, kalau Lucy itu tidak bisa apa-apa kecuali memamerkan bentuk tubuhnya itu. Sial. Sial. Sial.
"Empat puluh juta sekian? Sekali lagi kutanya, berapa invoice bulan ini untuk katering?"
Dia terlihat sedang berpikir keras. "Empat puluh lima juta, Bu. Sepertinya."
"Sepertinya?! Apa kau tidak waras, Lucy? Ini menyangkut uang besar dan kau bilang sepertinya? Ya, Lord!"
Dia terdiam dan raut wajahnya menunjukkan kalau dia kesal karena aku membentaknya.
"Aku tidak bisa berharap banyak padamu, Lucy. Kau tidak bisa diandalkan. Ini laporan kau yang membuatnya, 'kan? Kenapa kau tidak tahu berapa invoice katering bulan ini?" aku melempar laporan yang dia buat tepat di depan congornya. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Aku akan protes pada Gio nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...