Samuel's Point of View
Ini benar-benar gila.
Aku sudah mencoba menghubungi Lika tapi nomornya tidak aktif. Aku bahkan menunggu semalaman di depan unitnya dan dia tidak juga membuka pintu untukku. Sekarang sudah pagi dan aku masih menunggu Lika di depan unitnya. Aku ingin memberikan penjelasan dan membuat Lika memberiku kesempatan setidaknya untuk meyakinkan ibuku bahwa Lika adalah wanita yang tepat untuk aku nikahi.
Tapi sepertinya Lika tidak pulang malam ini. Aku semakin khawatir karena aku memikirkan sesuatu yang buruk terjadi pada kekasihku. Yang kutahu, dia tidak memiliki banyak teman. Jadi dimana Lika tidur malam ini?
Aku memukul helmet yang menempel di kepalaku saat aku sudah berada di atas motor untuk pergi ke kantornya Lika. Jika Lika tidak ada di kantornya, maka setidaknya ada beberapa orang yang bisa ku layangkan pertanyaan tentang keberadaan kekasihku. Ya, tentu saja bertanya pada Langit.
Aku tidak menyukai ini, tapi aku harus melakukannya. Berbicara dengan serius kepada Si Pirang bodoh itu karena aku sangat yakin sekali bahwa Langit tahu di mana Lika. Tentu saja aku berpikir seperti itu karena aku tahu kalau Lika tidak memiliki banyak teman, dia hanya dikelilingi oleh bos sialannya itu dan beberapa teman yang bisa dihitung dengan jari. Sekarang aku berdiri di depan meja resepsionis dan mendapat kartu visitor setelah aku menukarnya dengan id-ku. Aku diarahkan ke lantai atas untuk bertemu dengannya. Menunggu beberapa menit sampai seorang gadis memanggil namaku dan mempersilakanku untuk masuk, oh yang benar saja. Ini terlihat seperti aku akan melamar pekerjaan di kantor ini.
Aku melangkah pasti ke ruangan Langit dan melihatnya sedang bersandar pada ujung meja, melipat ke dua tangannya dengan angkuh dia memintaku untuk duduk.
Aku rasa dia sudah tahu tujuanku kemari.
"Duduklah," katanya dingin. Aku lantas membuka jaketku dan duduk di sofa. Lalu, "ada apa?" Tanyanya langsung.
"Aku ingin bertanya di mana Lika."
"Menurutmu?"
Aku menggeleng.
"Dia tidak ada di sini. Tidak di manapun."
"Apa maksudmu?"
Kudengar Langit sedikit mendengus kecil,
"Bukankah kau yang kekasihnya? Seharusnya kau lebih tahu dariku. Tapi jika kau bahkan tidak tahu di mana dia, maka kau harus bertanya pada dirimu sendiri, mengapa Zulika pergi."
"Oh, ayolah Langit. Aku datang ke sini untuk bertanya baik-baik padamu, bukan ingin berdebat."
"Tidak ada yang ingin berdebat dengamu juga di sini,"
Baiklah, aku mencoba sabar. Karena aku yakin seratus persen bahwa manusia ini tahu keberadaan Lika.
"Aku tahu kalau kau tahu di mana Lika."
"Oh, yeah tentu saja aku tahu. Dia tidur di tempatku semalam." Sial! Itu jelas membuatku panas saat ini. "Dia tidur di tempatku dan tadi pagi dia masih ada di sana. Tapi kurasa sekarang dia sudah pergi. Aku tidak akan memberitahumu kemana Zulika. Bukankah itu sudah jelas karena artinya Zulika tidak ingin bertemu denganmu."
Dia ada benarnya. Mungkin aku harus bersabar karena aku yakin kejadian semalam membuatnya sangat terguncang.
"Seharusnya kau mengerti, Sam. Kau dan Zulika tidak ditakdirkan untuk bersama. Selama kau mengenalnya, apa yang sudah kau berikan pada Zulika selain rasa sakit? Ayolah, bung. Sama sekali tidak ada. Zulika hanya akan terus tersakiti jika dia terus bersamamu." Langit kembali ke kursi besarnya dan bersandar di sana. Kata-katanya membuatku termenung beberapa saat. Aku bahkan tidak bisa membela diriku saat ini di depan Langit karena aku pikir semua ucapannya benar. Apa aku terlalu egois jika terus meminta Zulika untuk bertahan denganku sementara ia terus merasakan sakit?
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...