Saat aku sampai di kantor, aku tidak melihat Lucy di kubikelnya. Aku tidak berharap dia ada di sini lagi, sebenarnya. Tapi ada beberapa faktor yang mendasari bahwa orang itu tidak ada di sana. Yang pertama adalah; dia telat. Dan aku berharap lagi alasannya telat adalah dia ditabrak oleh mobil fuso atau diculik oleh alien. Yang ke dua; mudah-mudahan saja orang itu mendapat mukjizat untuk tiba-tiba mengundurkan diri dan surat resign-nya ternyata sudah ada di mejaku.
Apa pun itu alasannya, semoga orang itu tidak lagi menginjakkan kaki di hotel ini.
Aku melesakkan bokongku dan meraih secangkir kopi yang sudah disediakan oleh OB. Aku senang untuk pagi ini karena mataku terbebas dari dosa yang selalu membuatku mengutuknya dalam batinku. Mood-ku hancur berantakan jika harus melihatnya. Ya, melihat Lucy. Siapa lagi? Jika aku menjadi antagonis, maka aku akan berharap dia mati dan penyebab kematiannya adalah aku. Kemudian akhirnya aku akan tertawa jahat di samping jasadnya. Berlebihan. Baiklah. Ini hanya sisi kejamku saja, karena aku memang benar-benar muak dengan benalu satu itu. Kalian harus tahu betapa bencinya aku dengan Lucy. Catat baik-baik, Lucy adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang paling aku benci. Paling. Aku. Benci.
Tanya kenapa?
Kenapa?
Baiklah. Dia tidak berguna. Itu poin pertama.
Yang ke dua, dia selalu menghasut Gio untuk memarahiku. Aku tahu setiap Gio mengeluarkan tenaganya untuk memaki-maki aku, Lucy adalah orang yang tertawa paling keras di belakangku.
Dan yang terakhir, dia-Lucy maksudku- adalah penjilat dan dia sangat licik. Tidak ada yang tahu watak aslinya. Hanya aku yang tahu seperti apa si wanita binal ini. Oke, kita bahas dia lain kali saja.
Baru tiga puluh menit berlalu, store request sudah menumpuk untuk segera aku tandatangani. Selesai dengan kewajibanku, aku pun melanjutkan aktifitasku seperti biasa. Ternyata wanita binal itu masuk. Dia sudah datang tadi bersama dengan Gio. Well, ternyata menjalani hubungan dengan pemimpin di perusahaan ini adalah sebaik-baiknya cara untuk bisa bersikap semena-mena. Apa lagi jika pimpinan itu seperti Gio yang paling mudah untuk dihasut.
Pemberitahuan pada layar laptopku menyala, menandakan adanya sebuah surel yang masuk ke sana. Oh, ya, setiap kali ada yang mengirimiku surel, aku selalu berharap itu adalah dia. Tapi untuk detik ini, dia masih belum juga mengirim pesan atau kabar apa pun padaku. Padahal dulu dia yang memintaku agar aku tidak mengganti nomor dan alamat surelku. Alasannya supaya dia bisa dengan mudah untuk mencariku. Sekarang aku punya pemikiran, sepertinya dia tidak lagi berada di bumi. Mungkin di planet mars atau pluto atau planet tanpa nama yang tidak memiliki jaringan internet. Ya, itu aneh sekali. Jika dia berada di bumi, pasti dia akan mengirim surat untukku. Bertanya kabarku walaupun tidak bisa menemuiku. Atau, ya, pikiran negatif lainnya. Mungkin saja dia sudah mati atau...atau sudah menikah dan memiliki belasan anak.
Aku menbenturkan kepalaku ke atas meja karena tiba-tiba saja aku mendadak seperti terkena serangan jantung mendadak akibat pemikiran negatifku sendiri.
From; Sagio M Sasongko
To; Ibu Kepala Keuangan
Subject; -Ke ruangan saya. Sekarang.
Gio,
Harapanku sudah melambung tinggi dan ternyata orang itu yang mengirim surel padaku. Aku tidak membalasnya tapi langsung beranjak untuk menemuinya di ruangan pribadi dia.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan untuk masuk, aku melangkah langsung menghadapnya. Dia sedang mengerjakan entah apa, yang jelas tangan dan fokusnya masih tertuju pada layar ponsel pintarnya. Semoga saja lehernya tidak bisa kembali seperti semula, biar saja dia terus memaku kepalanya ke arah ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...