Jika aku bisa salto atau kayang saat ini, maka aku akan melakukannya. Tapi sayangnya, aku tidak bisa. Maksudku, jahitan di pinggangku ini masih terasa nyeri walaupun aku sudah kembali ke apartmenku. Aku tidak mau ambil risiko. Ususku bisa keluar jika aku melakukannya.
Dan aku akan kembali bekerja sekarang. Aku sudah tidak sabar untuk nanti siang atau sorenya, karena aku akan bertemu dengan Samuel. Ya, ampun. Bisakah waktunya dipercepat sedikit? Aku tidak pernah sesemangat ini untuk bekerja. Aku tidak pernah sebergairah ini untuk berangkat ke kantor. Aku benar-benar tidak sabar. Ada perasaan menggebu di hatiku. Rindu yang sekian lama aku tumpuk, sekarang akan aku tumpahkan. Rindu yang sekian lama aku tanam, hari ini akan aku tuai.
Oh, Lord.
Terimakasih untuk rasa paling melegakan dalam hidupku.
Ini seperti aku menahan kentut di suatu pesta yang sangat meriah, dan akhirnya mendapatkan tempat sepi untuk membuang gas yang sudah aku tahan sedemikian hebat. Kalian tahu rasanya, 'kan? Sangat amat melegakan. Dan itu nikmat sekali. Apa lagi jika rindu? Oh, Lord. Ayolah, aku tidak tahan lagi.
"-sarapannya seperti porsi untuk makan siang. Lika itu makannya banyak sekali. Dia sering menghabiskan makanan sisa Adik-Adiknya. Tapi seperti yang kau tahu, tubuhnya tidak pernah tumbuh. Dia tetap seperti anak sekolah menengah pertama seumur hidupnya." suara Ibu yang entah sedang berbicara dengan siapa terdengar saat aku menutup pintu kamar. Ya, Ibuku masih tinggal di sini. Dia bilang kalau dia ingin bertemu Samuel. Aku ragu sebenarnya. Aku tidak yakin kalau Ibuku tidak mengenali Samuel yang buronan polisi. Tapi Ibuku memaksa dan aku sudah terlanjut berjanji dengannya. Jadi, semoga saja Ibuku tidak kenal dan tidak tahu siapa Sam sebenarnya.
Saat kakiku melangkah, aku mendengsr suara terkekeh seorang pria dari ruang makan.
"Lalu kemana perginya makanan yang dia makan?"
"Entahlah? Kau bisa bertanya padanya suatu saat. Tapi kau harus hati-hati, karena setahuku dia sedikit sensitif jika ada orang yang membahas bentuk tubuhnya."
Aku sengaja mendengar percakapan mereka dan bersandar di sekat ruangan. Aku melipat tanganku dan berdeham kemudian. Oh, jadi Ibuku membocorkan rahasia-yang lebih mirip aib, sebenarnya-pada Langit? Lagi pula, sedang apa dia di sini? Bukankah semalam Jeff bilang dia ingin menjemputku dan berangkat bersama? Ke mana pria konyol itu? Kenapa justru Langit yang datang ke sini?
"Oh, panjang umur sekali. Orangnya datang." ujar Langit dengan sedikit nada humor. Astaga, apa yang dia pikir? Ini apartmenku. Ya jelas aku ada di sini sepanjang waktu.
"Sedang membicarakanku?" aku melangkah maju dan ikut bergabung. Ibu terkekeh pelan dan berjalan ke area wastafel dan menyibukkan diri di sana.
"Ya, Ibumu bilang kau orang yang rakus."
"Oh? Kau jujur sekali, Bu."
"Trims, Nak. Aku sering mendapat pujian itu."
Aku memutar bola mataku sambil tersenyum tipis.
"Aku tidak heran-" aku bergumam. "-sedang apa kau di sini, Sir?"
"Sarapan?"
"Apa aku bahkan mengundangmu?"
"Tidak. Tapi Ibumu yang mengundangku."
Oh. Sudah kuduga.
"Seharusnya Jeff yang menjemputku. Jadi, kemana dia?" aku mengambil roti tawar yang sudah disediakan Ibuku.
"Dia harus ke lapangan." dia memakan roti tawar isi selai dengan sekali lahap sambil menatap mataku.
"Oh, oke. Jadi, kau datang ke sini untuk menjemputku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...