Bagaimana Caramu Memasarkan Susu Yang Sudah Basi?

1.5K 129 11
                                    

Hari ini tepat sepuluh tahun aku menunggunya. Di hari ini, sepuluh tahun lalu, dia memutuskan untuk pergi meninggalkanku. Pergi dengan membawa semua cahayaku dan tidak meninggalkan setitik pun sinar untuk mencintai orang selain dirinya. Namun, segala ucapan manisnya masih terngiang dan menjadi pondasi kuat dalam keteguhanku menunggunya sampai detik ini. Aku tidak tahu sampai kapan ini akan terjadi. Aku tidak tahu di mana garis perjalanan ini berakhir. Aku pun tidak tahu apa yang aku lakukan ini benar atau hanya akan menjadi sia-sia saja.

Semalam dia datang lagi di mimpiku. Bukan. Bukan mimpi indah yang aku dapat, melainkan sebaliknya. Aku bermimpi bertemu dengannya di Grand Indonesia, dia sedang bersama dengan wanita saat itu. Saling rangkul dan saling memberi kecupan ke satu sama lain. Dia melihat ke arahku, tapi dia seolah tidak mengenalku. Dan setelah aku terbangun, hatiku merasa sakit dan perih. Aku bahkan menangis dan itu membuat kepalaku sangat sakit sekarang. Aku beruntung itu hanya mimpi. Semoga saja mimpiku tidak menjadi kenyataan. Karena jika itu menjadi nyata, maka aku pastikan aku akan mati.

Sudah tiga hari aku menjadi pengangguran. Ternyata tidak enak juga, ya. Terbiasa melewati hari-hari dengan sejuta kesibukan, dan sekarang aku hanya berleha-leha. Aku bahkan belum mandi dari pagi dan ini sudah hampir jam enam sore. Tubuhku terasa kaku dan berat karena aku terus melewati hariku dengan berbaring sambil menonton drama korea atau membaca novel.

Hidupku sangat flat sekarang.

Aku harus mulai mencari pekerjaan, supaya aku punya kesibukan lagi.

Mona pulang dengan membawa satu loyang pizza keju kesukaanku setelah aku selesai mandi. Dia terlihat sangat lelah sekarang. Lihatlah, dia pasti kurang tidur. Sementara aku sampai overdosis karena terlalu sering tidur.

"Ada apa? Kenapa dengan wajahmu itu?" aku mengambil satu potong pizza, melipatnya menjadi beberapa lipatan dan langsung melahap mereka dengan sekali gigit. Ini sangat nikmat, kalian boleh mencobanya suatu saat nanti.

Aku dengar Mona mendesah saat ia menyandarkan punggungnya ke sofa.

"Aku lelah, kurasa aku harus ambil cuti selamanya."

Alisku otomatis terangkat drastis. Ini aku tidak salah dengar?

"Eh, jika kau berhenti, bagaimana dengan impianmu untuk membuat pesta pernikahan seperti pesta para artis-artis di Negri ini? Itu membutuhkan biaya yang cukup banyak, Mona. Aku tahu kau lelah, tapi jangan biarkan itu memutuskan semangatmu. Kau harus semangat!"

"Ya, kau benar." Mona mengambil sepotong pizza dan memakannya. "Oh, ya, kau ingin pekerjaan? Bosku sedang membutuhkan sekretaris."

"Kau tahu itu bukan bidangku."

"Sekretaris itu pekerjaan mudah, Lika. Kau hanya perlu mencatat dan mengikuti ke manapun bosmu pergi. Gajinya cukup besar untuk tiga bulan pertama."

Aku menimbang-nimbang. Mona tidak pernah bercerita apa pun tentang bosnya itu padaku. Aku pikir, pasti bosnya tidak seperti Gio.

"Memang ke mana sekretaris sebelumnya?"

Mona terdiam seketika saat pertanyaan itu aku lontarkan.

"Dia harus melahirkan. Bagaimana? Kau pasti bosan, 'kan di rumah terus? Kau pasti ingin bekerja lagi, 'kan?"

Mona selalu tahu apa yang aku mahu. Dia memang sahabatku. Aku pun menyetujuinya. Tapi, jika aku satu kantor dengan Mona, itu berarti aku satu kantor juga dengan Jeff?

Bukan masalah besar. Sudah aku bilang, 'kan? Aku bisa berteman dengan Jeff. Dia bisa menjadi temanku saat Mona sudah tidak bisa menemaniku lagi karena dia harus ikut bersama Lucas, suaminya. Kurasa, sejauh ini Jeff orang yang asik untuk diajak bicara. Walaupun otaknya terkadang sedikit idiot, atau mungkin lebih kekanakan.

Madness (Sequel- PRECIOUS) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang