Aku masih menangis karena perkelahianku dengan Mona beberapa menit lalu. Banyak sekali hal yang aku takuti jika pada akhirnya aku dan dia bermusuhan. Itu sama sekali tidak pernah terbayang di hidupku. Aku kenal dengan Mona sejak aku sekolah menengah pertama, dan tinggal bersamanya selama delapan tahun. Siapa pun di dunia ini pasti akan sakit hati luar biasa jika sahabat sehidup semati tega mengatakan itu di depan umum. Aku menyedot cairan yang menghambat pernapasanku, sesekali aku kehilangan napas untuk beberapa detik karena hatiku benar-benar terasa sesak. Aku tidak ingin kehilangan Mona. Sungguh. Jika ada seseorang yang ingin aku musuhi, sudah pasti bukan Mona orangnya.
Dia memang terkadang menyebalkan, tapi dia banyak membantu dan aku menyayanginya seperti dia adalah saudariku. Dan aku tahu bahwa Mona pun menyayangiku.
"Apa masih sakit?" Langit menginterupsi lamunanku setelah dia mengobati kakiku yang terkena pecahan gelas, ini memang sakit dan perih. Terlebih tulang keringku yang dihantam oleh kursi dan membuatnya menjadi sedikit memar.
Aku meringis, "masih, tapi ini lebih baik."
"Dia tidak akan mengatakan itu pada Sam," Si Pirang mengambil tempat di sampingku. "Dia hanya menggertak."
Aku mendesah panjang dan mengusap bawah mataku yang basah, "bukan itu yang aku khawatirkan."
"Lantas?"
"Dari mana dia tahu kalau kita pernah berada di dalam kamar yang sama?"
Langit terdiam atas pertanyaanku lalu mengedipkan matanya dengan tempo singkat.
"Aku tidak tahu," mengedikkan bahunya, Si Pirang bersandar di punggung sofa yang ada di ruangannya.
"Bukan kau, 'kan?" Aku memicing curiga.
"Bukan,"
"Sungguh?"
"Untuk apa? Lebih baik aku langsung memberitahukan itu pada Sam."
Iya juga, ya.
Aku benci kalau Si Pirang ini benar.
"Tidak perlu cemas. Kau akan baik-baik saja selama ada aku."
"Apa maksudnya?"
"Jika Sam meninggalkanmu karena Mona memberitahu semuanya, setidaknya ada aku. Kau paham, kurasa." Ucapnya percaya diri. Aku tertawa sumbang dan mengerutkan dahiku, lubang hidungku melebar seketika. Aku merasa Langit sedikit lebih mirip seperti Jeff. Kalian setuju, 'kan?
"Tidak semudah itu," Pirang! Aku mengerang dan masih meringis.
Dia terkekeh pelan dan merubah lagi posisi duduknya, "Jika kau ingin istirahat di tempatmu, aku bisa meminta Jeff untuk mengantarmu pulang." Langit menoleh dan menjilat bibirnya tanpa sadar.
"Tidak, lagi pula aku masih bisa bekerja. Jangan khawatir."
"Okay then, aku ada pertemuan dengan Sena di Pasific Place."
"Oh? Okay."
"Guess what?" Dia tersenyum kecil dan menatapku.
"What?"
"Sena bersedia mendengarkan persentasiku. Pada akhirnya," dia tertawa renyah dan aku turut bahagia melihat wajah Langit—yang walaupun sedang babak belur—tidak dingin lagi padaku. Setidaknya sampai detik ini, tidak tahu sepuluh menit lagi. Dia bisa langsung berubah menjadi tokoh antagonis di novel atau telenovela.
"Apa itu tidak apa? Maksudku, wajahmu," aku mendelik ke arah wajahnya yang lebam.
"Kurasa ini bukan masalah besar," dia menyeringai dan beranjak. "Kau bisa kembali ke mejamu dan aku akan mengirim email tentang bahan persentasiku. Setelah semua sudah siap, kita berangkat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Madness (Sequel- PRECIOUS)
General FictionMenunggu seseorang selama sepuluh tahun utuh? Apa ada yang bisa sesanggup dia? Setia bercumbu dengan pahitnya waktu panjang dalam ajang menunggu Sang Pujaan? Semua yang dia lalui tak ayal hanya untuk menjemput waktu agar bisa bersama selamanya. Ber...