Roman Picisan season 2 (fanfiction)

Part 47 Pembalasan Yang Manis

Malam hari di rumah Wulan. Wulan celingukan di meja makan, mencari makanan yang bisa mengisi perutnya. “loh, Wulan…ko malem-malem di sini?” Tiana memergoki Wulan. “kamu pasti lapar yaa?” Tiana tersenyum. “mm…iya nih, Ma…aku tadi sore ketiduran, bangun-bangun ko lapar…” Wulan nyengir sambil mengelus-ngelus perutnya. “sini duduk…sekalian temenin Mama ya…” Tiana menghangatkan ketan bakar yang dibelikan Wulan. “kita makan ketan bakar sama-sama ya!” kata Tiana bersemangat.

Wulan duduk di meja makan. Tak lama Tiana membawa ketan bakar ke meja makan, “niiih…udah anget, pasti enak banget nih!” Tiana duduk dekat Wulan. Sedang asik menikmati ketan bakar, Andika muncul. “waduh, waduh…lagi asik makan apa nih, ko Papa ngga diajak?” Andika duduk bersama mereka di meja makan. Wulan memalingkan pandangannya. “kamu ko cemberut gitu, Sayang?” Andika bertanya. “Wulan masih ngambek, Mas…” “loh, ngambek kenapa?” “masih nanya lagii…!” Wulan melirik Andika. “ada apa, Wulan, coba jelaskan sama Papa!” Andika masih tidak paham.

Tiana melirik Wulan yang masih cemberut. “Mas ngga inget kejadian tadi siang?” kata Tiana sambil menuang teh ke gelas. “hmm…pasti soal Roman!” Andika melirik Wulan. “Papa itu bukan marah sama Roman, hanya saja, Papa kecewa, karna dia tidak bisa pegang janji. Dia kan janji untuk tidak nginap, eh…kalian berdua malah nginap!” Andika menjelaskan. “coba kamu pikir, Sayang..apa kata orang kalau tau kamu dan Roman bermalam berdua di luar kota?!” Andika memandang Wulan serius.

“jangan terlalu keras berpikir, Mas…nanti Mas pusing lagi..” Tiana merangkul Andika dari belakang. “emangnya, semalam kamu nginap di mana?” tanya Tiana pada Wulan. “di hotel!” jawab Wulan santai. “apa??kamu dan Roman nginap di hotel??” Andika tersentak. “iiih, Papa…pasti pikirannya langsung negatif deh!” Wulan memanyunkan bibirnya. “Pa… walaupun di hotel itu tinggal satu kamar yang kosong… aku sama Roman tidur masing-masing, aku tidur di kamar, dan Roman di mushola hotel!” Andika dan Tiana terdiam, mereka saling pandang. “Roman itu cowo baik-baik…ngga mungkin lah dia macem-macem sama aku!” Wulan menjelaskan.

“tuh kan, Mas…apa aku bilang…Roman itu anaknya bisa dipercaya!Mas ngga usah hawatir!” “jangan semudah itu percaya sama laki-laki!” jawab Andika tegas, “bisa saja itu hanya kesan awal, saat kita lengah, dia bisa berbuat yang macam-macam!” lanjutnya . “Paaa…Papa itu harus percaya sama Roman…Roman itu cowo baik, Roman malah pernah nyelametin aku!” tiba-tiba Wulan menutup mulutnya. “menyelamatkan kamu…bagaimana maksudnya?” Andika menyelidik. “aduuuh…gue ko malah keceplosan!” Wulan membatin. Tiana mengernyit, ia juga penasaran. “Wulan, kenapa kamu diam saja?jawab Papa…!Roman menyelamatkan kamu dari siapa?dari apa?” Andika terus mencecar.

Wulan menggigit bibirnya. “aduuuuh…gue harus jawab apa?!?” Wulan panik. “Wulan…Sayang…ayo cerita sama Mama sama Papa!” Tiana membujuk. Wulan menatap Tiana dan Andika bergantian, “mm…engga ko Pa, Ma…aku salah ngomong!” Wulan nyengir. “mm…aku ke kamar ya, udah kenyang!” Wulan pura-pura menguap, “duh aku udah ngantuk lagi…makasih ya, Ma ketan bakarnya…aku ke kamar dulu!” Wulan buru-buru pergi dari sana. “Wulan…kamu harus ceritakan dulu, jangan pergi dulu!” Andika memanggil-manggil. “sudahlah, Mas…kasian Wulan mungkin capek.” Tiana menggenggam tangan Andika sambil senyum.

Di kamar, Wulan buru-buru mengunci pintu. “gawat…gawat…!” Wulan mondar-mandir panik. “kalo Papa sama Mama ngungkit-ngungkit, gue harus jawab apa?” Wulan berdiri di depan cermin. “aduuuuh, Wulandari…mulut lo ember banget sih!!” ia memarahi diri sendiri. Wulan menarik nafas panjang dan menghembusnya pelan-pelan, “tenang Wulan…tenang..lo ngga boleh panik!” ia bergumam. Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, memandangi Rori. “semoga…besok pagi Mama dan Papa udah lupa…” katanya sambil mengelus Rori. Tak lama, ia tertidur.

Jam tujuh pagi di kamar Roman. Roman sedang bersiap. Tiba-tiba handphone nya berbunyi. “pasti si pacar nih…ngga sabar banget pengen ketemu gue!” Roman tersenyum sambil bergegas mengambil handphone nya. “Om Andika!” ia mengernyit. “halo, assalamu alaikum, Om.” jawabnya sopan. “waalaikum salam, Roman. Siang nanti kamu bisa menemui saya?” “mm…iya, Om bisa…ada apa ya, Om?” “pokonya jam makan siang nanti saya tunggu kamu di kantin kantor saya!” “baik, Om, saya pasti ke sana!” “ya sudah, assalamu alaikum!” “waalaikum salam.” Telepon di tutup.

“tumben banget…ada apa ya?” Roman jadi tegang. “ah…udalah, liat nanti siang aja!” Roman melanjutkan bersiap-siap. Lalu bergegas berangkat menjemput si pacar. Sesampainya di rumah Wulan, Wulan sudah standby di depan pagar. Roman menghentikan motornya tepat di depan Wulan. Ia melepas helm dan kacamata hitamnya. “haiii pacar…lama yaa nungguin gue?soriii…macet tadii!” kata Roman nyengir. “sebentar lagi gue berlumut nih nungguin lo!” Wulan memanyunkan bibirnya. “sori, sorii…jangan ngambek dong…nanti pipinya meletus!” Roman munusuk pipi Wulan dengan telunjuknya.

“iiih…ngaco!” Wulan menepis tangan Roman. “udah yuk…nanti telat!” ajak Wulan. Roman mengambil helm Wulan, “sini, gue pakein!” Wulan menyodorkan kepalanya, Roman memakaikan helm pada Wulan. Lalu Wulan bergegas naik ke atas motor. Roman menunggu, tapi si pacar tidak juga memeluknya. Ia menoleh, Wulan malah mengalihkan pandangannya dari Roman. Roman memutar gas dan motor melompat. Wulan refleks memeluk Roman sambil teriak. “Romaaaaan!” Wulan memukul punggung Roman. “makanya pegangan!” Roman terkekeh.

Mereka sampai di loby Fakultas Kedokteran. Wulan turun dan melepas helmnya. “nanti gue harus ke perpus dulu, cari bahan tugas..jadi lo jemput gue jam setengah dua aja ya!” Wulan menyerahkan helmnya. “siaaap, pacar!” Roman mengedipkan sebelah matanya. “semangat yaa belajarnya!” kata Wulan sambil tersenyum. Roman menatap Wulan lekat. “gitu dong…kalo senyum kan jadi lebih cantik!” Wulan tersipu. “ya udah, gue cabut ya!selamat belajar, Wulandari!” Roman senyum, lalu pergi.

Jam dua belas. Roman sudah selesai kelas kedua. Ia mengecek handphone nya, “udah jam dua belas, gue harus buru-buru nih!” ia bergegas ke parkiran, lalu pergi ke kantor Andika. Sesampainya di kantin kantor, Roman melihat sekitar. “Roman!di sini!” Andika melambaikan tangan padanya. Roman langsung menghampiri. “assalamu alaikum, Om!” Roman mencium tangan Andika. “waalaikum salam!” jawab Andika. “ayo pesan dulu makanannya, biar sekalian makan siang!” lanjut Andika. “oh, iya Om.” Roman memesan makanan. Lalu mereka berdua makan siang bersama.

“Roman, kamu tau kenapa saya panggil kamu ke sini?” tanya Andika di sela-sela makan. “engga, Om.” Roman menggeleng. “sebenarnya saya ingin bertanya sesuatu sama kamu, tapi saya minta kamu jawab saya dengan jujur!” “iya, Om.” Roman mendengarkan dengan serius. “semalam Wulan bilang, katanya kamu pernah menyelamatkan dia. Maksudnya menyelamatkan bagaimana?” Andika menyelidik. Roman betul-betul kaget. “apa Wulan udah cerita soal kejadian itu sama keluarganya ya?” Roman membatin.

“Roman!” Andika mengejutkan Roman yang diam saja. “eh iya, Om…maaf…emangnya Wulan bilang apa sama Om?” “ya dia cuma bilang begitu…tapi saya tanya, dia malah kabur..bikin penasaran saja. Saya sebagai orang tuanya kan harus tau!” tegas Andika. Roman manggut-manggut. “oh…itu Om…waktu itu Wulan lagi nunggu taxi di pinggir jalan, ada preman yang ganggu Wulan. Saya kebetulan lewat, jadi saya tolongin Wulan.” Roman mengarang cerita. “kamu ngga bohong sama saya kan?” tatapan Andika menyelidik. “iya, Om..betul begitu ceritanya.” Roman meyakinkan. Andika manggut-manggut. “sukurlah kalau memang hanya seperti itu.”

Roman melanjutkan makan, hatinya merasa tak enak. “oiya, Om..soal kemaren…” “sudah, sudah…ngga usah kamu bahas!” Andika memotong. “Wulan sudah menjelaskan semuanya sama saya.” Ia tersenyum. Wajah Roman berubah ceria, ia sangat lega. “jadi…Om ngga marah lagi kan sama saya?” “engga…saya malah mau berterima kasih sama kamu!tolong jaga Wulan terus ya!” pesannya pada Roman. Roman mengangguk bersemangat. “pasti, Om…saya pasti selalu jagain Wulan!” ia tersenyum mantap. Selesai makan siang, Roman langsung pamit kembali ke kampus.

Di lobi Fakultas Kedokteran, Wulan sedang celingukan mencari si pacar. Roman langsung memarkir motornya, dan menghampiri Wulan. “heii, Lan…nunggu lama ya?” katanya terengah. Wulan melihat jam tangannya. “jam dua lewat lima belas!” kata Wulan judes. “lo dari mana sih?tumben banget telat jemput gue!” Wulan mendelik. “iya, iya sori…tadi gue abis makan siang!” jawab Roman santai. Wulan terbelalak. “haaaah??lo telat jemput gue gara-gara abis makan siang???lo makan siang sama siapa??makan di mana??” Wulan memukuli lengan Roman. “aduduh…sakit tauu…” Roman merengek.

Roman menangkap tangan Wulan. “gue abis makan siang sama bokap lo!” Roman menjelaskan. Wulan melongo. “sama Papa???ko bisa??” tanya Wulan penasaran. Roman tersenyum dan meninggalkan Wulan. “Romaaaaaaaaan!!” Wulan mengejar Roman. Ia menggandeng si pacar, “ceritain dong sama gue…!” Wulan memelas. Roman melirik Wulan. “kepoo banget yaa?” katanya sambil nyengir. “kalo lo ngga mau cerita, ngga bakal gue lepasin tangan lo!” ancam Wulan. “kalo gituu…gue ngga bakal cerita deh…biar digandeng terus sama bidadari!” goda Roman. “iiiih…Romaaaaaaaan!!!” Wulan refleks memukul lengan Roman. Roman menggandeng tangan Wulan, diajaknya ke motor. “nanti gue ceritain!sekarang pulang dulu, takut keburu ujan!” Wulan manut.

“tadi pagi bokap lo nelpon gue, ngajakin makan siang!” Roman mulai bercerita. “terus?” Wulan penasaran. “ternyata, karna mau nanya sesuatu sama gue!” “nanya apa?” “gue pikir lo udah cerita soal kejadian malem itu pas lo pergi sama Devon!” Wulan langsung teringat kejadian semalam di meja makan. “terusss…lo ceritain semuanya?” Wulan bersemangat. “ya engga lah…gue bilang aja lo lagi nunggu taxi, digangguin preman…gue kebetulan lewat, jadi gue tolongin lo…gitu!” Wulan mengernyit. Tak lama mereka sampai di rumah Wulan. Wulan langsung turun dan melepas helm nya.

“kenapa ngga lo ceritain aja yang sebenernya?biar Papa tau kelakuan Devon!” kata Wulan sambil menyerahkan helm ke Roman. Roman tersenyum. “buat apa?yang ada malah bikin bokap lo makin cemas!” Wulan terdiam. “gue bisa aja ceritain semuanya, tapi gue ngga mau!” Wulan menatap Roman lekat. “gue nggamau ambil keuntungan dengan nyeritain kejelekan orang lain!” Roman melanjutkan. Wulan tertegun. “udah sana masuk!jangan ngeliatin gue terus!” Roman mencolek hidung Wulan. Wulan tersenyum manja. “ya udah, dadah!” ia melambai lalu masuk ke dalam rumah.

Jam enam sore, Roman sudah sampai di radio. “udah siap siaran, Bro?” Riza menghampiri Roman di ruang siaran. “iyaa siap!” jawab Roman mantap. “okey, siap-siap nih lima menit lagi on air!” Roman dan Riza sudah bersiap. Lampu tanda On Air menyala. “halooo ask lovers!” sapa mereka kompak. “ketemu lagi nih sama gue Gibran…” “dan gue Hugo…” “di acara Suara Hati!” “tema kita malam ini apa nih, Go?” “yang pasti tema malam ini lain dari biasanya…” “wah…bikin penasaran nih, pasti seru banget!” “well…tema malam ini adalah…balas dendam!” “serem banget yaa!” “kedengerannya serem sih…tapi pasti seru untuk kita bahas!”

Di kamarnya, seperti biasa Wulan dengan setia mendengarkan acara Suara Hati, apalagi kalau jadwal penyiarnya Gibran. “balas dendam??ngeri banget sih temanya?!” Wulan mengernyit. “tapi…penasaran deh isinya apa..” ia mengeraskan volume radionya. “okey, Bran..kalo buat lo…apa sih yang pertama kali terlintas saat lo denger kata balas dendam?” “mm…kalo buat gue..yang terlintas itu sakit hati!” “sakit hati….jadi ada hubungannya sama perasaan ya?” “betul banget!” “kalo gitu, kita bakal tunggu ask lovers yang punya cerita soal balas dendam nih…yuk buruan telepon, kita tunggu banget nih!”

“udah ada penelepon masuk, halo dengan siapa ini?” “halo, gue Adit..” “halo, Dit..gimana nih, lo punya cerita apa tentang balas dendam?” “gue mau cerita tentang kisah balas dendam gue yang mungkin bisa bikin kalian semua benci sama gue!” Roman dan Riza saling pandang. “eh…mm…okey, Dit, silakan lo cerita.” “jadi…gue punya pacar, namanya Dina. Awalnya gue deketin dia dengan tujuan balas dendam.” “maksud lo, balas dendam sama Dina gitu?” Hugo memperjelas. “bukan…niat gue balas dendam sama sahabat gue sendiri.” “waw, sahabat?ko bisa?” Gibran ikut memperjelas cerita.

“waktu SMA, sahabat gue ngerebut gebetan gue!gue kira gue udah bisa maafin kejadian itu, tapi nyatanya sakit hati itu membekas banget. Sesudah kuliah, sahabat gue naksir cewe yang namanya Dina ini. Dan di situ gue berniat balas dendam dengan ngerebut Dina dari dia.” “okey…ceritanya mulai clear nih…lanjutkan..” “gue berhasil balas dendam, Dina jadi pacar gue, dan sahabat gue patah hati berat. Gue pikir semua selesai..tapi ternyata itu malah jadi awal penderitaan gue!” “waduh…maksudnya gimana nih, Dit?” “gue bukannya ngerasa puas, malah hati gue semakin sakit, gue juga ngga ngerti kenapa!”

“okey, okey…jadi balas dendam lo malah bikin lo makin sakit ya?gimana nih, Bran menurut lo?” tanya Hugo. “mm…sebelumnya gue mau nanya nih, Dit..sejujurnya lo punya perasaan ga sama Dina?” “awalnya engga, karna tujuan gue cuma mau balas dendam, tapi sekarang gue malah jadi bingung sama perasaan gue sendiri!” “kalo Dina nya sendiri gimana sama lo?” “jujur…gue ngerasa dia tulus banget sama gue, tapi karna gue ngga ada rasa sama dia, jadi gue sering cuekin dia. Kadang gue kasian juga sama dia!” “okey, gue nangkep beberapa point dari cerita lo!”

Roman mulai menjelaskan, “menurut gue, istilah balas dendam itu muncul di pikiran kita ketika hati kita terluka. Makanya, kata itu pun berlaku ya hanya untuk kita!” “gue jadi bingung, Bran…bisa tolong lo jelasin ngga?” Hugo menyela. “ya seperti yang dialami Adit ini…awalnya dia merasa tersakiti, lalu di pikirannya muncul balas dendam, mungkin ada perasaan puas sesaat, tapi selanjutnya adalah rasa sakit yang lebih parah, karna ada rasa bersalah yang ngikutin!” “iya lo betul, sekarang gue malah ngerasa bersalah sama sahabat gue dan Dina, gue nyesel!”

“nah itu dia!makanya ada pepatah yang menurut gue keren banget, pembalasan terbaik yang bisa kita lakukan untuk musuh kita adalah mengampuninya!” “weiisss…cakep bener tuh, Bran!” Hugo manggut-manggut setuju. “jadi buat lo, Dit..mungkin ada baiknya lo jujur sama pacar lo dan sahabat lo juga…dan minta maaf dengan tulus, pleus, lo harus maafin sahabat lo dengan iklas!” “iya…iya…gue ngerti sekarang, thanks ya!” Adit menutup telponnya. “sekarang kita masih tunggu satu telpon terakhir dari ask lovers nih, Bran…” “oh ini udah ada telpon masuk…halo dengan siapa?”

“gue Wuri!” Roman tertegun. “haiii Wurii…seneng deh denger suara lo lagi!ada cerita apa nih dari lo?” “gue mau cerita soal kejadian balas dendam yang gue saksiin sendiri dari cowo gue!” Roman mengernyit. “mm…boleh lo ceritain sama kita sekarang dong??” “cowo gue…berulang kali dijahatin sama temen gue, bahkan beberapa kali dia jadi korban salah paham, tapi di saat dia punya kesempatan untuk balas dendam, dia malah berbaik hati dan ngga pake kesempatan itu untuk keuntungan dirinya sendiri.” “kereeenn banget cowo lo, Wuri…kalo boleh gue tau, apa dia ini Romeo yang sering lo ceritain?” Hugo jadi kepo.

“iya betul, dia Romeo gue…cowo terbaik yang pernah ada di hidup gue!” “waaaaw…waaaw…Wuriii…kata-kata lo barusan pasti bikin Romeo tersanjung banget yaa…semoga aja dia denger!thanks ya Wuri udah share sama kita!” Wulan menutup telponnya. Hugo melirik Roman yang sedang senyum-senyum bahagia. “okey deh ask lovers, tiba saatnya kita bakal dengerin satu puisi keren persembahan pujangga kita, Gibran…silakan Gibran!”

“saat luka membawamu dalam kelam,
yang terlintas mungkin balas dendam,
tapi itu hanya akan buatmu tenggelam.
hanya ada satu obat paling ampuh,
yang sanggup buat lukamu runtuh,
yaitu satu kata maaf yang utuh.”

“Gibraaaan…gue sukaaa banget puisi lo!okey deh ask lovers…sampe sini dulu perjumpaan kita, gue Hugo pamit…” “gue Gibran pamit…” “see you, babay…!”

Di kamar, Roman menelepon si pacar. “halo, bidadari!” “halo, pujangga!” mereka sama-sama tertawa. “lagi ngapain?” “mm…lagi nungguin lo telepon!” “masa sih?yakin banget gue bakal nelpon?” “yakinlah…kan ada yang abis tersanjung gitu dipuji-puji!” Wulan tertawa jail. “cieeeh…ada yang cinta banget nih sama gue!” “iiiih…ngaco!” Wulan langsung salah tingkah. “gue ngga bilang gitu ya tadi!” “yaa…ngga secara terbuka sih…tapi tersirat ko dari ucapan lo tadi!” gantian Roman yang tertawa jail. “Romaaaaaaaan!!” jerit Wulan malu.

“tapi lo serius kan sama omongan lo tadi?” “mm…omongan yang mana ya?” Wulan pura-pura tidak tau. “yang katanya gue ini cowo terbaik yang pernah…” “stoooop!” “kenapa?ko distop?” Roman protes. “Roman Arbani…lo adalah cowo terbaik….yang pernah ada…di hidup gue!” kata Wulan serius. Roman tertegun. Ia menampar pipinya sendiri, memastikan dia tidak sedang bermimpi. “Maaan…!” Roman masih diam. “Romaaaaaan!” “eh…iya, iya…” “ko malah diem siiih???” tanya Wulan ngambek. “lo ngga suka ya gue…” “sukaaa!!” Roman menyela.

“suka apa?” “suka banget…denger lo ngomong kaya tadi!” keduanya tersipu. “ko lo bisa bilang gitu?” tanya Roman tiba-tiba. “iya…soalnya lo emang beda dari cowo lain yang gue kenal!” Roman tersenyum bangga. “makasih ya, Man!” “buat?” “buat segalanya…” Roman diam mendengarkan. “makasih, lo udah bikin Papa bisa nerima lo…dengan segala sikap dan perbuatan lo yang apa adanya!” Wulan melanjutkan. “iya, berkat lo juga ko!” “gue sayaaaaang banget sama lo, Man!” “gue jauuuuuh lebih sayang sama lo, Lan!” Malam itu mereka berdua betul-betul lega, betul-betul bahagia.