22. Gone

3.7K 131 9
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, sementara pesawat yang akan ditumpangi Rio akan take off pukul 17.15, setidaknya masih ada 3 jam lebih untuk bersiap-siap dan mungkin menghabiskan waktu berdua.

Beberapa pasang pakaian, handuk, dan perlengkapan pribadi lainnya sudah tertata di kasur untuk di cek lagi sebelum masuk ke dalam koper.

“Kak, yang kurang apa ya?” tanya Windy pada Rio yang sedari tadi hanya duduk di sofa saja memperhatikan Windy yang mondar-mandir untuk mempersiapkan segala keperluannya.

“ah iya, mie instant” tambah Windy sembari mengacungkan tangannya lalu berlalu ke dapur meninggalkan Rio yang keheranan akan ucapan Windy itu.

Rio menyerngit, mie instant?

“buat apaan tuh, Win?” tanya Rio saat Windy datang dengan membawa beberapa bungkus mie instant berbagai rasa.

“buat kakak lah, kalo lagi males makan diluar atau males masak yang aneh-aneh kakak bisa masak ini.” Jelas Windy.

Rio tak habis pikir dengan pola pikir Windy kali ini, ia beranjak dari duduknya dan melihat apa saja barang barang yang tercecer diatas kasur.

“denger, istri kakak.” Rio menghembuskan nafasnya kasar lalu mendekati Windy yang tak jauh berada di sampingnya.

"Kakak mau tugas kerja, bukan mau ngekos sayang. Mie instant buat apa? Mending kamu bekalin kakak sama ayam kecap deh” lanjut Rio kemudian.

Windy yang mendengarnya tersentuh. Rasa enggan di tinggal kembali bergemuruh di dalam hatinya. Ia mengikiskan jarak diantara mereka, dan menelusupkan kepalanya di dada bidang Rio yang ia rasa sangat nyaman.

Isakan kecil terdengar disana, dimana Windy meneteskan airmatanya akan keputusannya sendiri yang mengizinkan Rio untuk pergi.

“Windy takut kalo sendirian disini”, ucapnya disertai isakan.

Rio yang mendengarnya tersentak, ia tak menyangka jika respon Windy akan seperti ini. Hatinya mencolos mendengar istrinya itu menuturkan kata-kata seperti orang yang takut akan kehilangan.

Rio ingin kali ini waktu berhenti disini. Saat mereka sedekat ini, dan Rio merasakan hangat peluknya.

“udah jangan nangis, kamu harus belajar konsisten sama pilihan kamu.” Ucap Rio sembari mengelus-elus rambut belakang Windy. Ia semakin mengeratkan pelukannya.
Sebenarnya ia enggan untuk mengatakan kata-kata itu, namun bagaimanapun juga ia merasa perlu untuk mengajari Windy tentang bagaimana ia harus bertanggung akan pilihannya.

Windy perlahan menganggukkan kepalanya di dalam pelukan Rio. Ia mengerti akan kata-kata Rio namun jika tau berada dalam pelukannya akan senyaman ini mungkin ia tak akan pernah mengizinkan Rio pergi.

Cukup lama keduanya larut dalam rasa nyamannya berpelukan, hingga Rio tersadar jika dirinya belum memasukkan bawang bawaannya ke dalam koper.

Ia mengelus elus rambut Windy dengan lembut, “udah ya. Sekarang bantuin kakak beresin barang bawaan kakak. Takut telat” ujar Rio.
Windy menggangguk lalu melepaskan pelukan Rio. Rasa aneh muncul dalam hatinya yang ia bingungkan rasa apa itu.

Windy memasukkan baju baju Rio ke dalam koper. Sementara Rio memilah milah lagi barang penting apa yang hendak ia bawa.

Pandangan Rio jatuh pada mie instant yang berada di sisi kanan tangannya.

“win, mie instant nya gak kakak bawa ya. Disana ada makanan kok.” Ujar Rio lembut takut menyinggung perasaan Windy yang sudah menyiapkan semua hal untuk dirinya.

Windy mengalihkan pandangannya pada Rio, ia sedikit berfikir sejenak, “hmm iyadeh terserah Kakak. Mau dimasakin ayam kecap gak?” tanya Windy kemudian yang baru ingat dengan permintaan Rio tadi.

Let's Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang