33. Hurt

2.9K 100 9
                                    

Rio terpaku. Pernyataan Daniel menyayat hatinya. Disaat ia yakin jika Windy mencoba memantapkan hatinya, kenapa lelaki yang dulu begitu diharapkan sekarang malah datang dengan begitu tidak tahu dirinya melayangkan pertanyaan itu pada istrinya.

Rio masih terdiam, ia masih setia memandangi Windy yang tidak berkutik sama sekali.

Rio tidak dapat menahan semua ini, rasanya ia dijatuhkan begitu hebatnya sampai ia tidak bisa terus-terusan berada di tempat ini.

Ia menghela nafas, masih menatap kembali Windy dari belakang. Lalu melihat ke arah Daniel sekilas yang masih terus mengembangkan senyumnya. Serta suara riuh undangan yang hadir seakan mendesak Windy untuk sekedar menganggukkan kepala.

"Maaf, bisa tolong kasihkan kunci mobil ini pada gadis didepan saat acara selesai nanti." Ucap Rio meminta tolong pada lelaki yang hadir bersama pasangannya yang berdiri tak jauh darinya.

"Gadis yang sedang dilamar itu?"

Dada Rio seketika sesak, ia mencoba menormalkan rasa nyeri pada ulu hatinya.

Dengan sedikit terpaksa Rio mengangguk kecil, sebenarnya ia ingin menyampaikan jika gadis yang dimaksud merupakan mahramnya. Namun ia urungkan semua itu, ia hanya enggan menimbulkan perkara yang rumit.

"Terima kasih. Saya permisi." Ujar Rio seraya mengangguk kecil lalu keluar dari acara itu.

Rio melangkahkan kakinya untuk berjalan entah kemana. Disaat orang lain menipiskan jarak dengan mengendarai mobil atau motor, namun berbeda dengan Rio. Ia pulang dengan berjalan kaki yang jaraknya cukup jauh.

"Apa mencintai harus sesakit ini?"

Air mata merembes dari pelupuk matanya. Bukan cengeng, bahkan Rio tidak merasakan jika ada air mata yang turun melewati pipinya. Sakit? Jelas. Pria mana yang tidak sakit saat melihat istrinya dilamar di depannya?

Namun Rio mencoba berfikir logis,

Apa iya dia benar istriku?

Rio masih terus bergelut dengan pikirannya. Ia terus meyakinkan hatinya jika bukan Windy yang salah.

Windy gak salah. Aku yang salah, telah terlambat mengambil hatinya.

Satu yang ia harapkan, semoga Windy ingat selalu dengan statusnya.

Perlahan rintikan air hujan mulai berjatuhan, Rio tidak peduli. Ia masih terus berjalan hingga hujan turun dengan derasnya yang membuat Rio basah kuyup dan pandangannya sedikit mengabur.

Langkahnya terhenti tatkala ia menemukan sungai besar yang tak jauh dari itu ia mendapati kursi panjang. Rio duduk di kursi itu, mengamati aliran sungai dengan jatuhnya air hujan yang masih begitu deras.

Pandangan Rio kosong, ia boleh terlihat sedang menatap ke arah aliran air yang mengalir, tapi nyatanya nol besar.

Pikirannya beralih pada saat ia menghabiskan waktu berdua dengan Windy, dimana disitu senyum Windy tercetak dengan jelas. Ya walaupun kala itu perasaan sebagai adik. Bukan sebagai wanita.

Rio tersenyum kecut.

Ia bangun dari duduknya dan mulai melangkahkan kakinya, kakinya terus berjalan hingga ia tiba di depan rumah mewah milik keluarga Sebastian.

Kenapa aku kesini?

Guman Rio tanpa sadar, setelah berjam jam ia berjalan sembari berkeluh kesah dengan hatinya, sekarang ia tiba di rumahnya. Bahkan apartemennya tak terasa ia lewati begitu saja.

Rio mendekat ke pintu pagar rumahnya, hujan sangat deras namun apa yang akan ia bicarakan saat ditanya orangtuanya nanti. Terlebih rasa pusing yang ditahannya sedari tadi semakin menjadi.

Let's Fall in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang