Beberapa hari Windy tinggal sendiri di apartemen, ia menolak ajakan orangtuanya untuk kembali tinggal di rumah sampai Rio kembali. Sahabat-sahabatnya pun sudah mulai kembali sibuk beraktivitas. Waktunya ia habiskan hanya dengan menunggu kabar dari Rio yang akhir - akhir ini memang jarang memberi kabar.
Apa emang rasa itu sudah ada? -Batinnya bertanya.
Apa ini rindu?
Ah taulah
Ia beranjak dari ruang makan menuju ke kamar. Makan malam pun Windy sendirian. Tidak seperti biasanya yang selalu rame dengan tingkah Rio.
Tiba di kamar Windy bermaksud untuk mengganti pakaiannya dengan piyama, saat lemari sudah dibuka pandangannya jatuh pada kaos berwarna putih yang sempat Rio klaim menjadi kaos kesayangannya.
Ia mengambil kaos itu dan menghirup aromanya perlahan. Semerbak wangi parfum Rio masih tersisa disana. Wangi parfum yang Windy tidak tahu apa itu namun terkesan nyaman dan tidak meninggalkan kesan manly.
Selesai dengan itu ia kembali menata kaos ke tempat semula, ia tak mau bertingkah seperti di novel-novel tidur dengan memeluk kaos Rio. Terlalu drama pikirnya.
Bangun pagi sendiri sudah menjadi rutinitasnya tanpa ada Rio yang kadang membangunkannya, ia mulai terbiasa dengan kesendirian yang hampa. Tidak seperti biasanya, dulu ia termasuk orang yang suka sendiri dan ia senang menjalaninya. Namun keadaannya sekarang adalah berbeda jauh. Bayang bayang Rio seakan seperti bayangan yang menyatu dengan dirinya.
"ngapain ya enaknya?" Windy berbicara sendiri untuk membunuh rasa sendiri yang ia rasakan. Hari ini adalah weekend dan ia juga tidak memiliki acara tertentu.
Windy berencana untuk mengunjungi rumah Rio saja daripada ia berkeliaran tidak jelas dan malah berbelanja menghabiskan uang.
Ia kembali mengecek handphonenya sebelum berangkat, siapa tahu Rio menghubungi tanpa ia ketahui.
🌵🌵🌵
Windy telah tiba di rumah Rio, mungkin setelah menikah ia hanya beberapa kali saja singgah di rumah Rio.
Ia menekan bel rumah dan beberapa saat kemudian muncullah Bi Asih, assisten rumah tangga di Kediaman keluarga Sebastian itu.
"lho, non Windy to. Mari masuk, non" sapa Bi Asih dengan logat jawanya.
"iya, Bi. Panggil Windy aja." Jawab Windy karena ia sedikit risih dengan imbuhan 'non'.
"gak enak non, non duduk dulu ya biar bibi ambilkan minum" ucap Bi Asih hendak pergi ke dapur namun segera dicegah oleh Windy.
"gak usah, bi. Nanti kalau Windy haus ambil sendiri kok." Tolak Windy.
"oiya, mama kemana Bi'?" tanya Windy saat dirasa tidak adanya Ira ditengah-tengah mereka.
Ah ya, sekarang ia juga mulai terbiasa memanggil orangtua Rio dengan sebutan mama papa.
"nyonya lagi keluar non, tadi bilangnya hanya sebentar. Mungkin sebentar lagi pulang" jawab Bi Asih.
"hmm gitu ya. Yasudah Bi, kalau begitu Windy ke kamarnya kak Rio aja ya."Ucap Windy kemudian.
"baik non. Ndak di kunci kamarnya" tanggap Bi Asih lalu pergi meninggalkan ruang tamu. Begitupun dengan Windy, ia juga beranjak dari tempatnya dan menuju ke kamar Rio yang berada di lantai dua.
Ia memasuki kamar Rio yang bernuansa putih itu, masih rapi seperti terakhir kali ia mengunjunginya bersama sang pemilik. Tidak banyak barang – barang Rio yang berada disana karena sebagian sudah dipindahkan ke apartemen. Pandangannya tertuju pada meja nakas dimana terdapat foto pernikahan mereka dengan bingkai kecil disana, Windy mendekati foto itu lalu duduk di ranjang. Terakhir kali ia menginap disana belum ada foto itu, lalu siapa yang menaruhnya disana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Fall in Love
General FictionPernikahan yang dijalani dengan rasa kakak-adek zone. Apakah akan selamanya begitu? Semua berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh orangtua mereka. Lantas apakah keduanya akan saling jatuh cinta? Highest Rank : #54 20/1/18 in General Fiction