Windy sedang memasak di dapur tercintanya. Hari ini adalah hari kepulangan Rio jadi ia sengaja masak besar untuk menyambutnya.
Bukan masakan western ataupun masakan - masakan yang rumit. Hanya masakan nusantara yang mudah untuk dimasak. Lidah Rio tidak terlalu suka masakan western dan Windy syukuri itu. Setidaknya tidak merogoh kocek terlalu banyak jika misal mereka makan diruang. Paling sering yang mereka makan jika di luar tidak jauh - jauh dari rawon, sate, soto, bahkan kolak kacang ijo sekalipun.
Kring kring..
Handphone Windy berdering tanda ada panggilan masuk.
Ia menyerngit, nomer siapa ini?
Angkat sajalah siapa tahu penting. Batinnya.
"Halo. Selamat siang." ucap seseorang di seberang sana dengan sangat formalnya.
Siapa nih?
"Ya, halo. Maaf dengan siapa?" ucap Windy sopan.
"Benar dengan kerabat Alderio Alfian Sebastian?" tanya orang diseberang sana.
Deg. Siapa ini?
Windy mengedarkan pandangannya ke arah jam dinding.
Enggak. Gak mungkin.
"Benar. Ini siapa?" jawabnya gugup.
"Saudara Alderio terlibat kecelekaan pesawat. Sekarang ia dirawat di rumah sakit Dr. Sucipto" jelas seseorang diseberang sana.
"A-apa" jawab Windy dengan melemah. Ia terlalu terkejut untuk sekedar berteriak – teriak secara histeris.
"B-baik. Ss – saya segera kesana" lanjutnya lirih lalu menutup telepon.
Ia jatuh meluruh dengan bersimpuh di lantai. Pikirannya masih tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Air matanya terus terjun bebas melewati pipinya. Namun sekelibat bayangan Rio muncul, ia tahu jika Rio sedang berjuang mempertahankan hidupnya sekarang. Ia kemudian bangkit, ia harus datang sekarang untuk menemui Rio.
Ia segera bergegas ke rumah sakit yang disebutkan di telepon itu dengan penampilan yang sangat hancur. Rambutnya dicepol asal tanpa sapuan make up di wajahnya dan bajunya masih tetap menggunakan baju rumahan tanpa mengganti lebih dulu. Dan yang paling menyita perhatian adalah matanya yang terus bergenang air mata.
Ia berlari di koridor rumah sakit setelah menanyakan dimana ruangan Rio sekarang. Tiba di tempat yang dimaksud, ia harus menunggu dulu karena Rio masih ditangani oleh dokter. Ia harap-harap cemas dibuatnya karena ia tak tahu bagaimana kondisi Rio sekarang.
"Dengan keluarga saudara Alderio?" tanya seorang dokter yang keluar dari ruangan diikuti 2 perawat dibelakangnya.
"Ya. Bagaimana keadaannya dok?" tanya Windy bergetar. Ia khawatir karena ekspresi dokter yang berbicara dengannya menampakkan ekspresi yang sulit untuk ditebak.
"kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun Tuhan berkata lain" ucap dokter itu penuh penyesalan.
"Gak. Gak mungkin. Kak Rio gak mungkin.."
"Gak mungkin"
"Gak mungkin. Kak Rio jangan Pergi. Kak Riooooooo"
Seketika Windy terduduk dari tidurnya.
Ia mengatur nafasnya yang terengah-engah. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Satu hal yang ia sadari jika ia baru saja bangun dari tidur buruknya.
Ia segera mengambil handphonenya dan segera menghubungi Rio.
Tut tutt..
Panggilan tersambung namun tak ada jawaban. Ia lihat jam yang tertera di handphonenya menunjukkan pukul 2 pagi. Itu artinya Rio masih beristirahat disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Fall in Love
Ficção GeralPernikahan yang dijalani dengan rasa kakak-adek zone. Apakah akan selamanya begitu? Semua berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh orangtua mereka. Lantas apakah keduanya akan saling jatuh cinta? Highest Rank : #54 20/1/18 in General Fiction