Part 6

9.1K 630 19
                                    

 Katya mengantar Aaron sampai ke Stasiun. Kakaknya itu harus kembali lagi ke London, dan mungkin akan pergi ke belahan dunia entah dimana. Katya menangis saat Aaron masuk ke dalam kereta, Katya menangis sepanjang jalan pulang, dan Katya menangis lagi di rumah.

 Melepas Aaron pergi ternyata lebih sulit dari meninggalkannya dua tahun lalu.

 Katya dapat pesan dari Zayn, katanya cowok itu akan pergi Manchester pada hari Sabtu. Katya tidak tahu ia harus apa. Ia bahkan tidak tahu kenapa Zayn mengiriminya pesan padahal ia bukan....oh, snap. Katya teman Zayn, mungkin yang terdekat dengannya saat ini. Yay, aku teman Zayn, batin Katya sarkatis.

 Tok tok tok.

 Katya melirik jam. Sekarang jam 9 pagi, dan kalau ia boleh memohon, semoga itu adalah Zayn yang mengetuk pintu rumahnya. Katya cepat-cepat beranjak dari sofa untuk membukakan pintu, dan benar saja. Zayn Malik dengan pakaian training serta tas selempang adidas besar sedang berdiri di depan pintu rumah Katya sambil tersenyum cerah.

 “Halo,” sapanya. “Aku belum sarapan. Dan satu-satunya aku bisa menemukan makanan gratis adalah di rumahmu. Jadi, kau masak apa hari ini?”

 Katya tertawa. Ia senang Zayn Malik mengetuk pintu rumahnya, tepat sebelum cowok itu berangkat ke Manchester, hanya untuk numpang makan di rumah Katya. Katya senang Zayn Malik membutuhkannya.

 “Masuklah Zayn,” kata Katya. “Aku masak tofu. Kuharap kau suka.”

***

 Manchester.

 Zayn baru turun dari bus. Celana trainingnya masih sama seperti yang ia pakai saat numpang sarapan di rumah Katya tadi pagi. Headphone yang terpasang di telinganya sejak tadi masih mengeluarkan nada-nada favorit Zayn sementara banyak orang yang mengambil fotonya dari kejauhan.

 “Kita satu kamar,” kata Ross, teman Zayn. Zayn mengangguk. Ia kemudian mengikuti rombongan menuju hotel. Zayn sebenarnya tidak benar-benar dekat dengan team-mates nya, karena ia terbilang baru disini. Tetapi sejauh ini, teman-temannya mengasikkan. “Hey, Zayn,” Ross memegang lengan Zayn. “Kau duluan ke kamar, oke? Aku ada urusan sedikit.”

 Zayn mengangguk, kemudian Ross meninggalkannya.

 Hari itu sudah cukup larut, mungkin pukul 8 atau 9, Zayn tidak sempat melihat jam. Ia berjalan santai menuju kamarnya yang terletak di lantai 11. Zayn menunggu dengan sabar di depan lift, sendirian. Saat lift berdenting dan pintu lift terbuka, Zayn melangkah masuk.

 Ia benar-benar tidak sadar bahwa ia tidak sendirian dalam lift itu. Sampai...

 “Zayn,” kata suara seorang cewek. “Kau.....Zayn Malik?”

 Suara cewek itu terdengar samar—tentu saja karena Zayn masih mengenakan headphone nya dengan volume maximum. Zayn melepas headphone nya dan menggantungkannya di leher, kemudian menoleh untuk melihat si cewek itu.

 Untuk beberapa detik, Zayn rasa ia tidak bicara sama sekali.

 “Zayn!” cewek itu memekik. Zayn masih diam saja, ketika cewek itu tau-tau menariknya ke dalam pelukannya. Aroma tubuhnya masih sama saat Zayn kehilangan cewek itu, parfum berbau melon yang Zayn belikan untuknya beberapa tahun lalu. Zayn ingin menarik diri dari cewek itu, tapi ia tahu ia tidak akan sanggup. Cewek itu akhirnya menarik diri duluan dan berkata, “Zayn, ini aku, Rebecca.”

***

 Katya melirik jam.

 Ini sudah jam 3 pagi, tetapi ia tidak bisa tidur. Zayn ada di Manchester, dan cowok itu belum memberinya kabar apa-apa sejak pamit pada Katya kemarin. Katya pergi ke kampus, ke perpustakaan, ke Mall, tetapi pikirannya tidak benar-benar ada disana.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang