Part 39

6.5K 548 74
                                    

“Zayn!”

Zayn langsung merasakan pelukan hangat ibunya ketika ia sampai di Bradford sekitar jam 7 sore itu. Sudah sangat lama ia tidak pulang kesini, dan berada disini bersama keluarganya ditambah Katya benar-benar meningkatkan moodnya.

“Hai, Katya,” sapa ibunya, lalu ia melepas pelukannya dengan Zayn dan memeluk Katya. “Kau tambah cantik, ya?”

Katya hanya tersenyum. “Kau juga terlihat cantik, Tricia.”

Tak lama kemudian, ayah Zayn menghampiri Zayn. Zayn hanya tersenyum simpul saat menatap ayahnya, begitu pula sebaliknya, tetapi kemudian ayahnya bergerak maju untuk memeluk Zayn. Zayn merindukan pelukan itu. Pelukan ringan dan bangga yang jarang didapatkannya.

“Kau sudah besar sekali,” kata ayahnya, membuat Zayn tertawa. “Terakhir kali aku memelukmu sepertinya tinggimu hanya sebatas pinggangku tetapi sekarang kau lebih tinggi dariku.”

Zayn menepuk pundak ayahnya. “Miss you too, dad.”

Ayahnya tertawa.

Tidak berapa lama kemudian, ketiga saudaranya—Doniya, Waliyha, dan Safaa—turun dari lantai dua. Safaa berlari kearah Zayn, lalu Zayn berjongkok untuk memeluk adiknya itu. Safaa sudah tumbuh beberapa senti lebih tinggi dari terakhir Zayn melihatnya.

“Miss you Zaynie,” kata Saafa.

Zayn tersenyum. “Miss you too, Beautiful.”

Setelah melepas pelukannya dengan Zayn, Safaa langsung memeluk Katya. “Katyaaaa I miss you so much,” katanya. Katya hanya tersenyum. “I miss you too Sweetheart,” jawabnya. Zayn berdiri, kemudian ia beralih kepada Waliyha.

“Sooo?”

Zayn tersenyum penuh arti. “What do you mean by ‘sooo’?”

“You know excatly what I mean.”

Zayn tertawa. “I miss you, girls,” katanya, kemudian ia memeluk Walihya dan kakaknya, Doniya. “Visit me in London anytime, please.”

“You are the one who is supposed to visit us,” kata Doniya. Ia melepas pelukannya, lalu beralih untuk memeluk Katya. “Katyaa you’re so beautiful! Why are you still hanging on this bastard?” tanya Doniya sambil menunjuk ke arah Zayn. Katya hanya tertawa.

“Hey,” tegur Zayn. “I’m offended.”

Doniya tertawa.

Setelah acara peluk-pelukan itu selesai, ibu Zayn mengundang mereka semua untuk makan malam di ruang makan rumah Zayn yang besar. Zayn duduk di samping Katya. Katya terlihat lumayan gugup, tetapi Zayn merasa dia bisa menangani semuanya dengan baik.

“Kau baik-baik saja?” tanya Zayn.

Katya mengangguk. “Lumayan,” katanya. “Aku benar-benar merindukan rumahmu, Zayn. Keluargamu membuatku merasa aku adalah bagian dari mereka. Membuatku merasa seperti....entahlah. Seperti aku benar-benar mempunyai keluarga.”

“Kau memang bagian dari kami, kan?”

Sebelum Katya sempat menjawab, ibu Zayn menyela. “Zayn,” katanya sambil meneliti wajah Zayn. “Apakah kau habis berkelahi?”

“Uh,” Zayn meringis. Ia menatap Katya sekilas, tetapi cewek itu cuma mengangkat bahunya. “Tidak, mom,” kata Zayn pada akhirnya. Ia benci kalau harus berbohong kepada ibunya, tetapi ibunya tidak perlu tahu hal ini. “Ada orang mabuk yang menonjokku. Begitulah.” Bohong.

“Kau balas menonjoknya?”

Zayn mengangkat bahu. “Tidak. Hanya melakukan perlawanan singkat.” Benar.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang