Part 9

8.4K 620 9
                                    

 Katya tidak bisa tidur. Bukan karena kamar tamu kediaman Malik ini kurang nyaman—sama sekali tidak. Katya belum mau pulang. Ia benar-benar menyukai kedua orang tua Zayn. Seperti contohnya saat tadi, setelah obrolan kecil mereka di bawah pohon, langit mulai mendung. Semua orang yang berada di pekarangan pun masuk ke rumah dan pergi ke ruang tamu.

 Katya tadi membantu ayah ibu Zayn dan Zayn sendiri untuk mengambil beberapa kursi tambahan di basement. Kemudian, ibu Zayn menemukan album foto lama berisi foto-foto Zayn ketika masih kecil. Ibu Zayn pun akhirnya membawa naik foto itu dan melihat-lihat isinya bersama keluarga yang lain.

 Zayn benar-benar lucu waktu masih kecil. Katya tadi melihat seorang anak polos, dengan rambut hitam, kulit putih, bibir merah, menghiasi tiap lembar album foto itu. Disana ada foto ketika Zayn baru lahir, ketika Zayn pertama kali makan pisang, ketika Zayn belajar berjalan, ketika Zayn berangkat ke taman kanak-kanak. Bahkan ada foto Zayn sedang mengenakan jersey Chelsea—mungkin saat pertama kali bermain untuk U12.

 Katya jadi bertanya-tanya apa dia punya album foto sendiri yang berisi seluruh kegiatan di hidupnya, sejak ia kecil, sampai ia besar.

 Tok tok tok.

 Katya langsung bangun dengan sigap. “Ya?”

 “Boleh aku masuk, Kat?” kata Waliyha.

 “Tentu,” kata Katya lega. Cuma Waliyha, kukira siapa. “Buka saja, Waliyha. Pintunya tidak kukunci.”

 Detik berikutnya, Waliyha, adik perempuan Zayn pun masuk ke kamar tamu tempat Katya berada. Katya menyuruh Waliyha duduk di sampingnya, kemudian tersenyum lembut. “Ada apa? Kenapa belum tidur?”

 “Anak-anak sibuk bercerita tentang cowok mereka, aku jadi sulit tidur,” kata Waliyha. “Kau sendiri kenapa belum tidur?”

 Katya mengangkat bahu. “Aku memang sulit tidur.”

 “Orang bilang, kalau kau sulit tidur di malam hari, mungkin kau sedang terjaga di mimpi orang lain,” kata Waliyha sambil tersenyum menggoda. “Zayn kan sudah tidur. Sepertinya ia sedang bermimpi tentang kau.”

 Katya tertawa. “Kau ini ada-ada saja.”

 “Hei, Kat, ada yang ingin kutanyakan denganmu.”

 Katya tersenyum. “Pasti tentang Zayn.”

 “Ah,” Waliyha mendesah pelan. “Ya, memang tentang Zayn, sih.”

 Katya tertawa kecil. “Oke, baiklah. Sekarang, apa yang ingin kau tanyakan, hm? Kalau kau bertanya tentang hubunganku dengan Zayn, kau tahu jawabannya. Dan kalau kau bertanya apa kami saling menyukai, jawabannya tidak. Dan kalau kau bertanya apa aku suka pada Zayn,” Katya terdiam sejenak, “kurasa kau tahu jawabannya.”

 “Oh,” Waliyha tertawa. “Kau menyukai Zayn rupanya.”

 “Hei, aku tidak bilang begitu.”

 Waliyha tertawa lagi. “Tadi kau bilang aku tahu jawabannya. Menurut yang kutahu, sih, kau suka pada Zayn. Kelihatannya dia juga suka padamu kok walau tidak mau mengakuinya.”

 Katya mau tidak mau tersenyum. Zayn memang bisa berubah jadi cowok termanis di dunia kalau dia mau. Zayn bisa jadi cowok termenyebalkan, bisa jadi cowok tercuek, terdingin, tergalak, tetapi mungkin itu yang membuatnya jadi terbaik.

 “Zayn dulunya orang yang sangat menyenangkan, Kat,” kata Waliyha. “Dia selalu pulang setiap awal pekan. Semenjak dia pacaran dengan Rebecca, dia jarang pulang. Paling hanya pada acara tertentu. Apalagi setelah dia putus. Dia tidak pernah pulang lagi.”

 Katya terdiam. “Memang kenapa?”

 “Kenapa mereka putus? Simpel saja. Rebecca suka pada teman setim Zayn, Tomas Kalas. Itulah sebabnya Zayn dipindahkan ke Everton, karena ia tidak akur dengan Tomas yang adalah teman setimnya di Chelsea U21. Itu membuat Zayn sangat kecewa, sedih, dan sakit hati,” jelas Waliyha panjang lebar.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang