Beberapa hari setelah makan malamnya dengan Zayn, Katya merasakan sakit yang sangat sakit, sampai-sampai sekujur tubuhnya mati rasa.
Rasa sakitnya sedikit sulit dijelaskan—itu lebih seperti rasa mulas tetapi seribu kali lebih parah—dan Katya baru sadar kalau mungkin, mungkin ia sudah saatnya melahirkan.
Hari itu hari Jumat. Zayn sedang latihan pra-pertandingan, dan cowok itu mungkin baru kembali sekitar dua jam lagi. Katya jelas-jelas tidak bisa menunggu dua jam lagi.
Dengan tertatih-tatih, Katya mengambil ponselnya yang sialnya ia tinggalkan di meja dapur. Katya menelpon Zayn, tetapi sia-sia saja karena cowok itu pasti meninggalkan ponselnya di ruang ganti. Setelah meninggalkan pesan suara untuk Zayn, Katya menelpon Aaron.
Aaron terdengar agak panik campur gembira saat Katya menelponnya, dan kakaknya itu bilang dia akan datang dalam waktu kurang dari 15 menit karena kebetulan Aaron sedang berada di sekitar situ.
Sambil menunggu Aaron, Katya membereskan barang-barang yang mungkin akan dibutuhkannya nanti. Katya memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas selempang kecil, lalu ia menunggu Aaron di ruang tamu.
Sekitar seperempat jam kemudian, Aaron datang. Aaron membantu Katya untuk masuk ke dalam mobil, lalu melaju dengan kecepatan penuh ke rumah sakit terdekat.
***
Saat Zayn membuka ponselnya dan menemukan begitu banyak missed call dari Katya, Zayn panik. Katya meninggalkan pesan suara yang belum sempat ia buka karena ia langsung buru-buru menelpon Katya balik.
Selama beberapa saat yang panjang, tidak ada jawaban.
Hi, ini Katya. Tinggalkan pesan setelah bunyi beep. Beep!
Zayn tidak sedang ingin meninggalkan pesan. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba instingnya mengatakan ia harus menelpon Aaron—kakak Katya—tetapi akhirnya Zayn mencari nomor Aaron dan menelponnya.
Dua detik kemudian, Aaron menjawab.
“Zayn,” suara Aaron datar dan dingin, membuat Zayn bergidik. Ia sekali lagi merasa seperti akan meminta izin kepada Aaron untuk melamar Katya. “Cepat ke rumah sakit. Katya akan....melahirkan.”
Detak jantung Zayn berpacu seperti derap langkah kuda yang sedang berlari kencang. Zayn cepat-cepat membereskan barang-barangnya yang berserakan, lalu berlari kecil menuju parkiran tempat mobilnya diparkir.
“Aku kesana,” tegas Zayn. “Sekarang.
Zayn mematikan ponsel, lalu mulai mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang memungkinkan ia untuk sampai di rumah sakit dalam waktu 10 menit.
***
Aaron tidak tahu apa dia harus senang, sedih, khawatir, kesal, marah, gelisah, atau apa. Barusan Zayn menelponnya, dan Aaron tentu saja langsung menyuruhnya cepat-cepat kesini.
Dari suara Zayn dan keheningan yang sempat terjadi di telpon tadi, sepertinya ada sesuatu yang Zayn sembunyikan, atau mungkin Zayn takuti. Aaron sebenarnya tidak mau tahu, tetapi kalau itu menyangkut Katya....yah, dia berhak tahu.
Begitu sampai di rumah sakit tadi, Katya langsung dibawa ke ruang perawatan intensif. Sebuah infus terpasang di tangan kanan Katya. Wajah Katya memucat sementara dahinya dipenuhi butiran-butiran keringat.
Berada disini—di ruang tunggu di depan ruang bersalin—membuat Aaron ingin menerobos masuk layaknya angkatan darat yang sedang menyergap tempat pembuatan narkoba. Aaron hampir mati bosan duduk disini terus-terusan.
Sekitar dua detik kemudian, Aaron mendengar derap langkah seseorang dari kiri koridor. Orang itu berlari seperti mengejar waktu, dan barulah ia sadar kalau itu Zayn, masih dengan baju trainingnya lengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, I am.
Romance-Book 1- Katya Maguire awalnya mengira Zayn Malik yang ia temui itu orang yang dingin, suka membentak, dan tertutup karena perilaku cowok itu yang dingin kepada Katya. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan Katya untuk berusaha mendekati Zayn dan menjadi...