Pagi itu, mereka berangkat ke Bradford.
Zayn lebih memilih naik audinya ke Bradford ketimbang harus naik kereta atau pesawat, tetapi berhubung naik mobil bakal menghabiskan banyak waktu, Zayn terpaksa harus naik pesawat. Lagipula Katya juga sudah memesankan tiket untuk mereka berdua.
Katya sudah membereskan semua barang yang akan mereka bawa ke Bradford. Zayn sudah mengatakan kepada Katya kalau mungkin mereka tidak akan ke London sehabis dari Bradford nanti, jadi Katya menyiapkan baju sedikit lebih banyak.
Sekarang Zayn tengah duduk di kursi pesawat. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang sambil menghela napas panjang, sementara Katya sibuk memperhatikan jalanan yang perlahan-lahan mengecil dari jendela.
“Kau gugup?”
Zayn menoleh singkat. “Tidak,” jawabnya. Zayn memang sudah mendingan sekarang saat berada di pesawat, apalagi kehadiran Katya di sampingnya sangatlah membantu. Tetapi tetap saja pesawat bukan kendaraan favoritnya. “Apa kau gugup?”
“Sedikit,” gumam Katya.
“Gugup karena naik pesawat, atau karena kau bakal menikah denganku dua hari lagi?”
Katya tertawa. “Dua-duanya.”
“Kau masih bisa mengubah keputusanmu, kau tahu,” kata Zayn singkat, tetapi ia menyesali kata-katanya dua detik kemudian. “Maksudku, kalau kau tidak benar-benar yakin, kau boleh saja. Aku tidak ingin membuatmu menyesal, Kat. Aku—“
“Zayn,” Katya menghentikan ucapannya. “Aku tidak akan mengubah keputusanku, oke? Kau ini kenapa selalu bertanya seperti itu, sih. Apa kau menyesal karena mengajakku menikah? Begitu?”
Zayn menatap Katya dalam. “Tidak,” gumamnya serak. “Aku cuma tidak mau kau menyesal. Aku tidak akan memaksamu apa-apa, Kat. Aku tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak ingin kau lakukan. Aku...” Zayn mengangkat bahu. “Hanya memberitahu, sih.”
“Aku tahu.”
“Kau boleh mempertahankan nama belakangmu.”
“Aku tidak ingin.”
Zayn mengerutkan dahinya. “Kenapa?”
“Aku ingin mempunyai namamu di dalam namaku,” jawab Katya, membuat Zayn tersenyum. “Aku ingin kau jadi bagian dari aku.”
“Memangnya, aku bukan bagian darimu?” goda Zayn.
“Mm, bukan.”
Zayn menatap Katya dalam-dalam, sampai ia bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di mata abu-abu Katya. Senyum Zayn perlahan-lahan mengembang. Entah kenapa, ia selalu ingin tersenyum saat menatap Katya. Katya selalu menjadi alasannya untuk tersenyum.
“Lalu?”
“Lalu apa?”
Zayn berdecak. “Kukira kau bakal menggombaliku atau apa,” gerutunya, tetapi Katya justru tertawa. Bahkan tawa Katya membuatnya sangat...senang. Bukan, bukan senang. Tapi bahagia. “Kau payah, ah.”
Katya tersenyum singkat.
“Eh, Zayn,” panggilnya.
“Ya?”
“Kita bakal ke Indonesia, kan?” tanya Katya. Zayn hanya mengangguk. “Nah, Indonesia kan jauh. Kita bakal mengalami jet lag. Apa kau yakin kau mau ke Indonesia?” tanya Katya lagi. “Aku tidak ingin kau tidak nyaman selama 12 jam.”
Benar juga, pikir Zayn. Ah, tetapi apapun juga bakal dilakukan Zayn agar Katya bahagia. Duduk diam di pesawat selama 12 jam cuma sebuah pengorbanan kecil yang bisa dilakukan Zayn supaya Katya merasa senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, I am.
Romance-Book 1- Katya Maguire awalnya mengira Zayn Malik yang ia temui itu orang yang dingin, suka membentak, dan tertutup karena perilaku cowok itu yang dingin kepada Katya. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan Katya untuk berusaha mendekati Zayn dan menjadi...