Part 38

6.7K 478 15
                                    

Katya menatap Zayn yang paling-paling jaraknya cuma beberapa inci darinya. Sudut bibir Zayn membiru, begitu pula pipi dan rahangnya. Rambut Zayn yang hitam sangat acak-acakan, tetapi entah kenapa sangat terasa lembut di tangan Katya.

Semalam mereka tidur berdua, tetapi seperti biasa, Zayn tidak melakukan apa-apa. Katya sebenarnya tidak menyangka Zayn tidak melakukan apa-apa, because she did not ask him to stop anyway. Tetapi bagus deh, Zayn setidaknya bukan tipe cowok pervert.

Sekarang Zayn masih tidur di sampingnya. Sebenarnya cowok itu sudah bangun beberapa jam lalu, tetapi kemudian tidur lagi setelah Katya menciumnya. Katya sebenarnya tidak berniat membangunkan Zayn, sih. Tapi ia ingin sekali mengobrol dengan Zayn.

“Zayn,” panggil Katya.

Tidak ada jawaban.

Katya mengguncang-guncang tangan Zayn. “Zaaaayn,” kata Katya. “Zayn ayo bangun, temani aku mengobrol aku bosan.”

Zayn hanya mengerang.

“Ih,” gerutu Katya. “Yasudah, aku keluar saja.”

Tepat sebelum Katya beranjak dari tempat tidur, Zayn melingkarkan tangannya di pinggang Katya lalu menarik Katya sehingga Katya kembali berbaring. Wajah Katya berada tepat di dada Zayn yang bidang, bahkan hidungnya hampir menyentuh dada Zayn kalau saja tangan Katya tidak menahannya.

“Kau bosan kan?” kata Zayn dengan suaranya yang masih sangat berat dan serak. Tetapi hanya dengan suara itu, Katya bisa merasakan pipinya memerah. “Apa sekarang masih bosan?”

Katya dapat mendengar detak jantung Zayn dari jarak sedekat itu. Katya dapat merasakan tangan Zayn yang kuat memeluknya. Badan Zayn sangat hangat, sehangat selimut. Sepertinya cowok itu nyaris tidak pernah kedinginan karena badannya terasa seperti memancarkan kehangatan sendiri.

“Zayn, ayo bangun,” kata Katya. “Kita sarapan habis itu jalan-jalan kemana terserahmu. Aku bosan, tidak ada jadwal kuliah.”

“Tidak mau.”

Katya mendengus. “Zayn.”

“Tidak mau, Katya,” erang Zayn. “Aku mau memelukmu saja sepanjang hari.”

Menyebalkan.

***

“Baiklah. Jam berapa?”

Zayn melihat seklias ke arah Katya yang sedang membuat kopi untuknya di dapur, sedangkan Zayn sekarang sedang berada di balkon. Ponselnya masih ditempelkan di telinganya.

“Jam 3?”

“Oke,” kata orang itu dari sebrang. “Sampai ketemu nanti.”

“Oke.”

Orang itu mematikan telponnya. Zayn menghela napas panjang, kemudian ia bersandar di pagar pendek balkon flatnya. Setidaknya sekarang masalahnya berkurang satu persatu. Zayn sedang berusaha merampungkan masalah yang ini, barulah ia akan merampungkan masalah terakhirnya.

Hari itu cukup dingin. Udara bulan Oktober membuat kulit Zayn merinding, tetapi Zayn agak menikmatinya. Thanksgiving jatuh pada hari Kamis minggu ini, dan berhubung sekarang baru hari Selasa, Zayn punya dua hari tersisa.

Tidak juga, sih, karena Rabu ada sesi latihan. Rencananya dia dan Katya akan pergi ke Bradford naik kereta seusai Zayn latihan. Katya setuju untuk menghabiskan Thanksgiving tahun ini di Bradford, alih-alih tetap tinggal di London bersama kakaknya yang merupakan kabar baik.

Zayn memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya, lalu membuka pintu balkon yang terbuat dari kaca dan masuk ke dalam flat. Saat Zayn sudah duduk di atas sofa sambil menonton televisi, Katya datang ke arahnya sambil membawa secangkir kopi.

For You, I am.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang