Zayn meletakkan kedua sikunya di atas pagar balkonnya yang pendek. Ia mengeluarkan sebatang rokok, kemudian menyalakannya. Zayn tahu ia baru saja melanggar janjinya untuk berhenti merokok kepada Katya, tetapi Zayn sedang punya pikiran dan ia membutuhkan benda ini. Zayn menghisap rokoknya dalam-dalam, membiarkan paru-parunya terisi asap rokok.
Zayn tadi menelpon ibunya—Tricia. Sudah sangat lama sejak terakhir Zayn pulang ke Bradford, maupun menelpon ibunya. Ibu Zayn sangat senang saat mendengar suara anak laki-laki satu-satunya itu.
Zayn mencurahkan seluruh keluh kesahnya. Ia bercerita tentang karirnya, kepindahannya ke London, hubungannya dengan Katya, dan.....rencananya. Rencana yang baru dipikirkannya beberapa saat lalu saat berkunjung ke Merseyside untuk menghadiri pernikahan Candace.
Zayn ingin menikahi Katya.
Ya, itu terdengar sedikit gila, tetapi Zayn bakal jadi gila juga kalau memikirkan ini terus-terusan. Ibunya berkata dia sangat setuju atas gagasan itu, karena ibunya ingin cepat mempunyai cucu dan semacamnya.
Zayn bahkan tidak tahu kenapa ia begitu pusing memikirkan semuanya. Mungkin Zayn hanya takut Katya tidak ingin menikah dengannya. Zayn takut Katya menganggapnya bercanda. Zayn takut Katya belum siap untuk menjalani hubungan semacam itu dengan Zayn.
Sayangnya, Zayn tidak begitu ingin menunggu lebih lama lagi. Ia sudah mengenal Katya cukup lama. Ia sudah mengetahui hampir semua hal tentang Katya, begitupun sebaliknya. Zayn tidak peduli berapa umurnya ataupun umur Katya. Baginya, menikahi Katya terdengar benar.
Sebenarnya masalahnya sekarang ada dua. Aaron yang tidak mengizinkannya menikahi adik perempuan satu-satunya, dan Katya sendiri yang tidak ingin menikah dengan Zayn. Zayn memutuskan sebaiknya ia meminta izin pada Aaron dulu baru bertanya apa Katya bersedia menikahinya atau tidak.
“Kau merokok, Zayn?”
Zayn menoleh ke belakang. Ia langsung mematikan rokoknya begitu melihat Katya berdiri di hadapannya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
“Maaf,” gumamnya. “Aku cuma—“
“Ada yang kau sembunyikan dariku.”
Zayn tidak menjawab.
“Zayn,” kata Katya seraya menghampiri Zayn. Katya berdiri di samping Zayn, menatapnya lekat-lekat. “Apa ada yang salah?” tanyanya. “Aku tidak memintamu untuk menceritakan detailnya kepadaku, tetapi setidaknya—“
“Kat, semuanya baik-baik saja.”
Zayn menatap mata Katya dalam, kemudian rasa takut itu datang lagi. Rasa takut kehilangan, takut ditinggalkan. Ia tidak tahu kenapa rasa takut itu sering muncul saat ia menatap Katya. Seolah-olah Zayn sudah diberitahu kalau ia akan kehilangan Katya suatu hari nanti. Dan Zayn benci itu.
“Kau terlihat takut,” gumam Katya. “Apa ada yang menganggumu? Atau membuatmu takut?” tanya Katya lagi. “Apa ada yang mengintimidasimu?”
Zayn memaksakan sedikit tawa ringan. “Tidak,” katanya. “Tidak ada yang mengganggu ataupun mengintimidasiku, Katya. Aku tidak apa-apa. Sungguh. Tidak perlu mengkhawatirkanku seperti itu.”
“Tapi kau terlihat takut.”
“Aku memang takut.”
Katya mengerutkan dahinya. “Takut apa?”
“Takut kehilanganmu.”
***
Hari itu cerah.
Aaron menawarkan diri untuk mengantar Katya ke Oxford dengan lexusnya, dan Katya setuju. Jalanan lumayan macet, jadi mereka sampai di Oxford sekitar 45 menit kemudian. Saat Katya masuk ke dalam kampus, Aaron memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, I am.
Romance-Book 1- Katya Maguire awalnya mengira Zayn Malik yang ia temui itu orang yang dingin, suka membentak, dan tertutup karena perilaku cowok itu yang dingin kepada Katya. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan Katya untuk berusaha mendekati Zayn dan menjadi...