6 bulan kemudian
Orang-orang bilang, kita butuh waktu 21 hari untuk menjadikan sesuatu sebagai sebuah kebiasaan. Tetapi ini sudah 6 bulan berlalu, dan Zayn tetap saja tidak bisa terbiasa untuk hidup tanpa Katya.
Zayn menepati janjinya. Malam itu dimana ia menangisi Katya, adalah yang pertama dan terakhir. Hari-hari sesudahnya dijalaninya dengan berat. Ia merasa seperti berjalan di atas kaktus sembari menghirup udara beracun.
Aktivitasnya sudah mulai kembali normal. Jose Mourinho selalu bermain ke rumah Zayn setiap awal pekan, menyuntikkan semangat dan motivasi untuk Zayn. Sesekali Aaron dan Cassie main ke rumahnya, untuk bertemu Alaska dan menanyakan keadaan Zayn.
Bahkan Petr Cech sekalipun, terbang dari Juventus ke London hanya untuk menghibur Zayn dengan harapan Zayn menemukan semangat hidupnya kembali. Zayn sangat menghargai orang-orang di sekitarnya yang telah berusaha membuatnya utuh lagi.
Tetapi tetap saja ia tidak akan pernah utuh lagi.
Sudah 6 bulan ibunya berada di rumahnya untuk merawatnya, dan merawat Alaska juga. Zayn merasa senang karena setidaknya ia tidak benar-benar sendirian karena ada ibunya di sampingnya, tetapi tetap saja.
Zayn sudah berusaha berdamai dengan takdir dan mulai memperhatikan Alaska—anaknya—tetapi setiap melihat anak itu, ia selalu teringat akan wajah yang ia tidak akan pernah jumpai lagi. Ia teringat tentang kehilangannya.
Dan Zayn benci itu. Jadi ia sebisa mungkin menghindar dari Alaska.
Hari itu Zayn tidak ada jadwal latihan sama sekali. Ia benci saat sedang libur, karena artinya ia hanya akan berdiam diri di rumah, memikirkan segala kesedihannya. Setidaknya bermain sepak bola membuatnya sedikit lupa dengan apa yang sudah hilang dari hidupnya.
Karena Zayn merasa sangat merindukan Katya untuk yang ke satu milyar kalinya, Zayn memutuskan mungkin ia harus menengok Katya di makamnya. Lagipula, apa salahnya?
***
Matahari bersinar terik di atas kepala Zayn.
Makam sangat sepi siang itu. Hanya ada beberapa orang yang datang menggunakan pakaian berwarna gelap. Zayn sendiri hanya memakai kaus oblong putih beserta celana selututnya yang memiliki banyak kantong.
Zayn berdiri di samping makam Katya sembari memegang sebuket mawar putih di tangannya. Ia berjongkok untuk meletakkan bunga di batu nisan. Sebelah tangannya menyentuh permukaan nisan, sementara sebelahnya lagi dijejalkan di saku celananya.
“Hai,” gumam Zayn.
Zayn tahu itu adalah sapaan payah untuk berbicara kepada orang mati, tetapi ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Sudah lama, ya, aku tidak melihatmu,” Zayn tersenyum samar. “Aku rindu masakanmu, tahu. Masakanmu, kau. Sama saja, kan?”
Tiba-tiba Zayn teringat saat Katya meninggalkannya ke London beberapa tahun lalu, dan saat mereka bertemu lagi untuk yang pertama kalinya di Stamford Bridge. Saat itu semuanya campur aduk—senang, sedih, kesal, lega.
Zayn jadi bertanya-tanya apa dia bakal bertemu dengan Katya lagi suatu hari nanti. Memang, sih, pertanyaan sekaligus pengharapan yang konyol. Tetapi membayangkan kalau dia benar-benar tidak akan bertemu Katya lagi....
Tidak, kata Zayn dalam hati. Enyahkan itu.
“Banyak hal yang terjadi saat kau tidak ada,” gumam Zayn kemudian. “Prestasiku menurun. Lalu meningkat lagi. Aku membuat hat-trick pada saat melawan Arsenal. Aku mencetak dua gol dalam waktu 2 menit. Aku menjadi player of the year. Aku menghadiri pesta peluncuran produk baru Puma.”
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, I am.
Romance-Book 1- Katya Maguire awalnya mengira Zayn Malik yang ia temui itu orang yang dingin, suka membentak, dan tertutup karena perilaku cowok itu yang dingin kepada Katya. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan Katya untuk berusaha mendekati Zayn dan menjadi...