Namanya Jimin, lengkapnya sih Park Jimin. Dia ini satu angkatan sama aku, bedanya aku IPS dan dia IPA. Tapi jangan dulu kepikiran kalau Jimin ini anaknya cupu dan ga asik. Malah sebaliknya. Dia itu terkenal di sekolah. Tapi ga selebay yang novel-novel ceritain.
Dia terkenal karena pernah menang olimpiade kimia pas dia kelas 11, tepatnya tahun lalu. Terus juga suara dia ini emas banget. Dia gabung dengan band sekolah, biasa ngisi acara untuk closing cup sekolah kita. Dan beruntungnya, aku si Kang Seulgi ini pernah mendapat kesempatan untuk jadi teman duet dia di acara sekolah tahun kemarin. Karena itu lah ketertarikan aku kepadanya bermula.
Aku baru sadar rasa tertarik aku dengan Jimin itu 1 minggu sebelum acara itu. I started to look at him in a long time, admiring his beauty secretly and pretended like nothing happened when he caught me.
Rasanya tertarik dengan Jimin ini seperti aku sebagai gadis desa dan Jimin adalah lelaki kaya raya yang menjadi pemimpin perusahaan keluarga. Sesulit itu sepertinya untuk membayangkan kami berdua untuk bersama. Dan aku terus meyakinkan diri sendiri kalau ini hanya ketertarikan semata. Bukan aku yang menyukainya dalam artian lebih.
Walaupun terkenal, Jimin ini jarang berinteraksi dengan perempuan. Paling hanya teman sekelasnya saja. Itu pun juga tidak semua. Dari mana aku tahu? Dari sahabat lelakiku di kelas IPA yang kebetulan 3 tahun berturut-turut sekelas dengan Jimin. Hanya dia yang aku percaya untuk bercerita tentang Jimin, aku percaya dia tidak akan bocor kemanapun.
Terkadang ketika kami sedang mengobrol tentang aku dan Jimin, itu semakin membuat rasa tertarik ini bertambah. Maka aku harus menyadarkan diri untuk tidak terbawa suasana dan semakin melantur saat berbicara. Aku tidak boleh mempunyai perasaan yang lebih kepada Jimin.
Dia itu sudah bukan di jangkauanku lagi. Begitu kataku setiap saat.
Aku menyukai mata Jimin yang kecil namun cantik. Bibirnya juga menambah nilai tambahan untuk wajah tampannya itu. Sepertinya semua bagian wajah Jimin perlu mendapat apresiasi dariku. Namun sepertinya tidak untuk sekarang.
Ah, aku harap aku bisa mendapatkan satu ketidak sempurnaan di wajahmu agar rasa suka ini bisa lenyap, Jim.
Tapi sepertinya kamu itu teramat sangat sempurna, sehingga aku susah untuk mencoba untuk menghilangkan rasa ketertarikanku ini.
Aku tidak munafik, beberapa kali aku membayangkan berpacaran denganmu. Hanya beberapa kali, kok. Sampai aku sadar ternyata membayangkan yang tidak akan terjadi itu lebih sakit, jadi aku harus berhenti. Itu alasan kenapa aku selalu membuang muka ketika kita tidak sengaja bertatapan. Semoga kau tidak sadar, ya.
"Eh?"
Aku mendongak ketika mendengar suara yang tidak asing ini. Dan aku mendapatkan kamu di depanku, Jim.
"E-eh, hai." Kataku gugup.
"Ga pulang? Udah jam 4, loh." Kata Jimin yang masih betah berdiri di depanku.
"Oh, masa? Ga kerasa." Kataku dan melihat jam di pergelangan tangan kiriku. Benar saja, sekarang sudah jam 4. Aku tiba di gerbang sekolah setengah jam yang lalu, menunggu ojek langgananku yang selalu ngaret itu tiba.
"Iya. Lo pulang sama siapa, Gi?" Tanya Jimin.
"Biasa, lah. Sama bang Jamil." Jawabku.
"Perlu gue temenin? Bang Jamil ini, kan, selalu telat jemput."
Kamu masih inget, Jim? Itu setahun lalu, loh. Makasih karena hal sekecil ini, aku senang. Ternyata hubungan pertemanan kita selama latihan untuk acara sekolah satu tahun kemarin bisa buat kamu tau tentang aku. Yah, walaupun itu juga tentang bang Jamil, bukan aku. Pokoknya, kamu tau tentang aku. Iya, kan?
"Ga perlu, Jim. Santai aja, sebentar lagi juga sampe. Lo duluan aja, entar pulangnya ke sorean." Aku menolak dengan halus dan diikuti dengan senyuman tipisku.
"Santai aja kali. Sekalian ngobrol juga." Jimin kini duduk di sebelahku. 5 menit pertama kita hanya diisi obrolan canggung. Namun lama kelamaan kita semakin santai karena obrolan mulai masuk ke muaknya kami dengan pelajaran dan para guru.
Dan 20 menit kami terlewati dengan kami yang membicarakan guru. Semoga tadi tidak ada guru yang lewat. Aku sampai tidak sadar keadaan sekitar karena terlalu asik gibahin guru bersama Jimin.
"Neng Seulgi, ayok pulang. Maaf telat jemput. Saya ketiduran." Suara klakson motor bang Jamil terdengar.
"Gila, enak banget ngomongnya kalo dia ketiduran." Jimin berdecak kesal selagi kami berdua berdiri.
"Biarin. Gue udah biasa." Kataku dan kami mendekat ke arah bang Jamil.
"Hati-hati, Gi." Kata Jimin. Aku mengangguk ketika sudah duduk di atas motor.
"Iya, lo juga."
Dia tersenyum sekilas kemudian masuk ke dalam parkiran yang ada di belakangnya. Kemudian ketika bang Jamil sedang menyerahkan helmnya untukku, Jimin berbalik.
"Gi, kapan-kapan duet lagi, ya!" Jimin berteriak cukup kencang. Untung saja aku sudah menaikkan maskerku. Karena kalau tidak, dia pasti sudah melihat wajahku yang terkejut.
"O-oke, ditunggu!"
—-
Hehe maaf ya updatenya cuman pendek2 gini. Aku bingung mau gimana lagii
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journal [p.j.m & k.s.g]
Fanfiction[SLOW UPDATE] Kumpulan cerita Jimin x Seulgi.