oh, shit

1.3K 115 16
                                    

"Ma, ga ada jodoh-jodohan lagi, please?" Sheila merengek kepada Ibunya yang kini tampak tidak peduli dengan perkataan anaknya itu. Wanita yang sudah berumur 50 lebih itu hanya membaca majalan fashionnya, sesekali membenarkan letak kacamatanya.

"Mama denger aku ga, sih?!" Sheila berucap lagi dengan kesal.

"Hush, kamu berisik banget. Balik ke kamar kamu, jangan lupa siap-siap. Jam 7 kita berangkat." Akhirnya Ibunya menanggapi perkataan Sheila.

"Biarin aja, aku ga bakal keluar kamar sampai besok pagi!" Sheila pergi meninggalkan Ibunya yang kini memelototi punggung anak bungsunya yang sedang menaiki anak tangga.

***

"Julian!" Suara teriakkan yang sangat Julian kenal terdengar sampai ke kamarnya di lantai dua. Tidak mau membuat pemilik suara semakin berteriak kencang, Julian memberhentikan gamenya dan segera berlari menuruni anak tangga.

"Ya?" Julian sampai di dapur dan melihat Bundanya sedang menyeduh minuman.

"Nanti malem ikut Bunda ketemu sama temen Bunda, ya. Harus keliatan ganteng." Jawab sang Bunda tanpa basa-basi. Julian meringis mendengarnya. Ya Tuhan, lagi?

"Bun, ga perlu jodoh-jodohin lagi, deh. Julian bisa cari pacar sendiri." Kata Julian memelas. Wanita berumur itu berbalik sambil membawa cangkir berisi minumannya itu.

"Ini terakhir, Bunda janji. Kamu sayang Bunda, kan?"

"Sayang, lah! Kayak gitu aja ditanya. Tapi-"

"Kamu balik ke kamar kamu aja. Jam 7 kita berangkat." Bunda meninggalkan Julian yang kesal setengah mati. Dia kembali ke kamarnya sambil mencibir sampai langkahnya terhenti.

***

Setelah perdebatan panjang di masing-masing rumah, akhirnya kedua korban paksaan Ibu mereka ini sampai di restoran yang cukup berkelas di tengah ibu kota. Sheila memakai gaun yang sederhana namun jika dilihat dari dekat, detailnya sangat rumit dan terlihat mahal. Mamanya juga tak kalah cantik dengan anak gadisnya itu.

Mereka mengikuti pelayan yang berjalan di depan mereka, entah restoran apa ini tapi mereka memiliki lorong-lorong yang memisahkan tempat biasa dan tempat khusus reservasi.

"Ma, aku ga mau ada jodoh-jodohan gini lagi setelah ini." Ucap Sheila begitu mereka sudah duduk. Teman Mamanya belum sampai dan entah sudah ada di mana.

"Hmm." Hanya itu respon Mamanya, membuat Sheila berdecak kesal.

Tidak ada yang berbicara, Mamanya sibuk melihat daftar menu dan Sheila memainkan ponsel dengan raut wajah kesal. Ingin sekali dia kabur dari tempat ini agar terhindar dari segala rencana Mamanya.

"Ma, aku masih 25 tahun. Belum terlalu terlambat buat nikah, kali? Kenapa Mama terlalu maksa aku? Aku tau yang baik buat aku, Mama ga perlu khawatir. Aku emang jomblo, tapi itu karena aku masih fokus sama karir aku. Aku belum sukses, aku belum bikin Mama dan Papa bangga dan itu alasan terkuat aku untuk singkirin tentang pacaran dan sejenisnya." Sheila akhirnya berbicara setelah diamnya tadi adalah untuk merangkai kata-kata ini.

"Coba dulu, oke?" Mamanya lagi-lagi memberikan respon yang tidak Sheila harapkan. Wanita paruh baya di sebelahnya menekan tombol di meja, tak lama pelayan datang dan Mamanya memesan makanan.

***

"...aku emang jomblo, tapi itu karena aku masih fokus sama karir aku. Aku belum sukses, aku belum bikin Mama dan Papa bangga dan itu alasan terkuat aku untuk singkirin tentang pacaran dan sejenisnya."

Tangan kanan Julian yang hendak membuka pintu ruangan khusus resevasi ini terhenti ketika mendengar suara itu.

Dia mundur selangkah dan mendengarkannya lebih lama lagi. Julian yakin, yang berbicara tadi adalah 'korban' seperti dirinya.

The Journal [p.j.m & k.s.g]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang