pelepasan adalah pertahanan terbaik

1.2K 133 7
                                    

Pelepasan adalah pertahanan terbaik, begitu katanya.

Aku sendiri cukup yakin dengan itu, tapi tidak dapat mengelak kalau sebenarnya hatiku juga hancur ketika melaksanakannya. Tapi, untuk apa lagi memperjuangkan lelaki yang sudah tidak dapat diperjuangkan lagi? Lebih baik merelakannya daripada aku harus terus menerus merasakan perasaan sakit hati itu.

-

Rasanya jantungku berdetak tidak karuan ketika menunggu Jimin tiba di apartemennya. Kue berukuran sedang dengan lilin angka 2 di atasnya aku letakkan di meja hadapanku. Di sisi kanan dan kiriku ada balon gas berwarna merah muda dan putih untuk mempercantik ruangan ini.

Bahagia sekali karena hubunganku dengan Jimin sudah menginjak dua tahun lamanya. Rekor untukku karena ini masa pacaranku paling lama. Dan karena itu aku merasa yakin dengan Jimin. Menetapkan dia sebagai lelaki yang aku cintai dan percaya.

Waktu menunjukkan pukul 10 lewat 8 menit dan Jimin tidak juga datang. Aku memang sudah berbasa-basi dengannya tadi sore, bertanya jam berapa dia akan pulang malam ini dan dia bilang akan pulang agak malam karena lembur. Baguslah, pikirku saat itu karena bisa menyiapkan rencana ini agar lebih matang dan berkesan nantinya.

Tapi sepertinya momen ini berkesan bukan sebagai momen yang menyenangkan.

Aku mematung begitu melihat Jimin masuk ke dalam apartemennya dengan keadaan yang tidak ingin aku lihat. Bahkan Jimin tidak sadar dengan keberadaanku di sini. Keuda mataku terasa panas saat itu juga.

He kissed another girl, in front of me, with full of lush.

Jangan harapkan aku untuk marah. Jangan harapkan aku akan menghampirinya dan menampar wajahnya dengan keras sambil berteriak kesetanan. Karena apa? Karena aku tidak bisa. Aku benci dengan diriku sendiri karena tidak pernah bisa marah dengan orang yang aku sayang walaupun sebagaimana orang itu telah mengecewakanku.

"Jim.."

Aku memanggilnya pelan dengan suaraku yang bergetar. Pandanganku buram karena kedua mataku sudah penuh dengan air mata yang siap jatuh dengan sekali kedipan.

"S-Seulgi? Sedang apa kau di sini?"

Jimin akhirnya menjauh dari gadis yang sedang dia cumbu itu, menatapku dengan panik dan tidak menyangka.

Jimin menghampiriku dan aku tidak ada niat sedikit pun untuk menjauh. Aku tetap diam di tempatku berdiri dan menatapnya dengan tatapanku yang penuh dengan kekecewaaan. Bahkan air mata juga sudah mengalir di pipiku. Ternyata seperti ini rasanya disakiti, ya?

Ketika Jimin sudah berdiri di hadapanku, aku mendekat untuk memeluknya erat namun tidak memakan banyak waktu. Aku tidak ingin tersakiti lebih dalam lagi.

"Selamat dua tahun.."

Aku mengucapkannya lagi-lagi dengan sauara bergetar karena menahan tangisanku. Jimin membalas pelukanku namun aku segera menjauhkan diri.

Tanpa mengucapkan apa pun, aku mengambil barang-barangku dan meninggalkan apartemen Jimin dengan keadaan hati yang luar biasa hancur. Ekspektasiku jatuh dengan parahnya, tidak menyangka aku akan keluar dari apartemen Jimin dengan perasaan hancur seperti ini.

Sebelum menutup pintu unit apartemennya, aku menatapnya sambil tersenyum sangat tulus.

"Terima kasih dan selamat tinggal."

Begitu kataku sebelum benar-benar meninggalkannya. Bersabarlah hati, memang semua yang telah kita bayangkan terkadang tidak berjalan sesuai dengan apa yang telah kita bayangkan.

-

Sudah beberapa bulan semenjak hubunganku dan Jimin berakhir. Keadaanku? Kacau dan tidak seperti diriku sebelumnya. Hebat sekali dampak Park Jimin untukku. Begini ternyata rasanya kehilangan Park Jimin dari hidupku. Hidupku hambar dan terasa tidak menyenangkan lagi.

He was truly my sunshine. Dan aku berterima kasih karena dia telah mampir sebentar di hidupku. Setidaknya aku pernah merasakan cinta yang tulus darinya.

Perasaanku kepadanya masih belum berubah walaupun berdampingan dengan rasa benciku kepadanya. Namun kembali lagi di awal, aku tidak bisa membencinya sepenuh hati. Dia pernah mengisi hariku dan memberikan kebahagiaan kepadaku.

Aku membawa secangkir cokelat panas ke dalam kamar dan meletakannya di atas meja kerjaku dan melihat beberapa fotoku dengan Jimin yang masih tertempel di sini. Hanya beberapa foto yang aku lepas dan buang. Aku tidak bisa menghapus Jimin begitu saja dari hidupku. Dia pernah menjadi seseorang yang spesial untukku dan aku tidak ingin terlarut kebencian. Setidaknya kini aku sedang berusaha untuk menghilangkan rasa benciku untuknya.

Aku meraih satu foto polaroid yang tergantung. Fotoku dengan Jimin saat kami merayakan satu tahun kami. Aku bahkan tersenyum ketika teringat tentang hari itu. Hari yang penuh kasih sayang dari kami berdua. Dan lagi-lagi air mataku mendesak untuk keluar.

Tidak ingin menangis lagi, aku kembali menggantungkan polaroid itu ke tempat semula dan menyesap minumanku dengan perlahan.

Saat itu aku mendengar ponselku berbunyi dan segera meraihnya untuk melihat penelfonnya. Namun yang tertera hanya nomor ponsel yang tidak aku kenal.

"Halo?" Sapaku kepada penelfon yang tidak aku ketahui namanya ini.

"..."

Tidak ada jawaban. Aku menjauhkan ponselku untuk mengecek apa panggilan ini masih tersambung atau tidak.

Masih tersambung, kok.

"Halo? Ini siapa?" Tanyaku.

"..."

Tidak ada sahutan lagi. Sepertinya ini hanya orang iseng yang tidak ada kerjaan malam hari.

"Apa ini salah sambung? Kalau iya, akan aku tutup."

"J-jangan."

Aku terdiam mendengar suara penelfon ini. Kenapa pertahananku selama ini kembali runtuh hanya karena mendengar suaranya?

"Kang Seulgi, ini aku, Jimin."

Aku menghela nafas perlahan sebelum menjawab.

"Sorry, wrong number."

Jimin, maaf. Aku tidak ingin membaca buku yang sama untuk kedua kalinya.

---

Ini lanjutan dari wondering about her heheheEE kl bisa bacanya sambil denger lagunya di mulmed hehe

Maaf updatenya baru bisa kayak gini dan maaf lagi kalo mengecewakan. Have a nice day everyone!

The Journal [p.j.m & k.s.g]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang