"Kakak dapet dari mana uang sebanyak itu buat nebus rumah kita?"
Senna melirik kepada adiknya. "Pinjem..."
Kemudian adiknya mendesah kecewa mendengar ucapan kakaknya. "Terus kita jadi pindah?"
Senna mengangguk mantap. Setelah melunasi hutang beserta bunganya, Senna memutuskan menjual rumah orang tuanya dan akan pindah ke rumah lebih kecil. Orang tuanya sudah setuju, kebetulan uang sisa penjualan rumah nanti bisa digunakan untuk usaha dan ditabung.
"Cari rumah yang deket sekolah aja ya, Kak. Biar Sandy gak repot cari angkot..."
Begitulah percakapan terakhir dengan adiknya. Senna kemudian kembali menatap layar komputer di depannya dengan sedikit kecewa. Sekarang, di mana Senna harus mencari rumah yang ideal untuk dirinya yang bekerja, Papa dan Mama yang sudah tua, dan Sandy yang sekolah?
"Senna..."
Perempuan itu menoleh, "Ya, Pak?"
Bos Senna, masing tergolong muda. Ganteng dan pintar. Merupakan salah satu pengacara muda yang sedang kondang di kantor. Dan semua orang begitu iri kepada Senna yang menjadi asistennya.
"Ada yang kurang, Pak?"
Lutfi menganggukkan kepalanya, "Pesenin ke OB, tolong beliin nasi padang, lauknya ditambahin sama udang. Ok?"
Senna mengangguk dan tersenyum, "Iya, Pak..."
"Sekalian Pak Mardi, Pak Sito, Mbak Andi, sapa lagi lupa saya. Pokoknya dipesenin..."
"Ok, ok, sip..." kata Senna sambil mengacungkan jempolnya.
Perempuan itu segera berjalan menuju pantry. Melaksanakan perintah sang bos. Beberapa orang yang melihat Senna menyapa dengan wajah yang khawatir.
"Lo sakit, Sen?"
Senna menganggukkan kepalanya, "Tamu bulanan, biasa..."
Pria di depannya hanya menganggukkan kepala, "Pantes jalannya aneh..."
"Hehe..." Senna melambaikan tangannya dengan pelan dan gemulai, "Udah, ah. Pak Lutfi minta nasi padang, gue pesen dulu..."
Senna berusaha berlari kecil tapi beberapa kali berhenti dan memberi salam.
...
"Gimana mbak?"
Vita, salah satu pegawai di perusahaan entahlah apa yang berada dua lantai di bawah kantor Senna tampak berpikir mendengar pertanyaannya.
Tadi, setelah mengantarkan makan siang untuk bosnya. Senna mampir ke kantin dan menemukan salah satu pegawai yang cukup dekat dengannya. Mereka membicarakan soal rumah yang sekiranya memiliki kriteria untuk Senna beli dan mencari beberapa orang yang berminat membeli rumahnya.
"Rumah lo sekitar lima miliyar harganya, lumayan juga ya..." Vita menganggukkan kepalanya kemudian melihat kembali ke Senna, "Kenapa tiba-tiba banget, Sen?"
"Hm, ada masalah sih. Pokoknya kalo ada yang mau beli, kabarin ya?"
Vita menganggukkan kepalanya. "Lo mau pindah ke apartement aja?"
Senna tampak tidak setuju. Dia sudah pernah mengatakan kepada Vita kalau membeli apartement itu termasuk rugi. Apalagi untuk sekedar menyewa. Senna tidak mau membuang uangnya hanya untuk sebuah apartement.
Terlalu banyak resiko. Lebih baik dia mencari rumah yang kecil-kecil saja.
"Bos gue kayaknya mau beli rumah deh. Lumayan juga kan rumah lo, gak terlalu jauh dari kantor"
Senna mengangguk. "Bos lo tajir banget ya, Ta? Kok dia nyewa gedung, sih?"
Seingat Senna, setiap kantor yang berada di gedung ini menyewa beberapa lantai dari pemilik gedung. Seperti perusahaan tempat Vita dan Senna bekerja, masing-masing menyewa tiga lantai yang berada di tengah gedung sebagai kantor operasional. Kebetulan Senna bekerja sebagai sekertaris seorang pengacara muda yang masuk ke dalam mitra hukum sedangkan Vita sebagai akuntan di perusahaan yang menyediakan jasa konsultasi keuangan.
Dan dari segelintir berita yang Senna dengar, Vita bekerja pada seorang laki-laki yang memiliki saham besar di beberapa hotel dan juga mall. Buat apa sewa gedung kalau nyatanya pria itu bisa membeli gedung.
"Hm, gak tau gue. Bapak bos kan gak terlalu deket sama keluarganya. Lo gak tau kalo bos gue sama bos lo sodaraan?"
"Hah?" Senna melongo, "Kok bisa? Bos gue kayaknya anak tunggal deh terakhir yang gue denger"
"Ye... Emang sodaraan itu kandung doang? Ada sepupu, tante, om, ya lain-lain deh..." Vita menelan jusnya, "Mereka sodaraan gitu, bos gue baru balik dari acara keluarga, paling ntar ada di kantor bos lo. Mereka kan suka gosip siang-siang..."
Senna mengernyit bingung. Dia memang baru bekerja dua minggu di kantor ini. Jadi masih tidak mengerti apa-apa. Belum mengenal banyak orang. Vita saja tidak sengaja dia kenal karena perempuan cantik itu tiba-tiba menubruknya ketika baru akan keluar dari ruangan Pak Lutfi.
"Mereka suka gosip, Sen. Bos gue biasanya ke ruangan bos lo atau bos lo yang ke ruangan bos gue. Bahas cewek..."
"Oh, ya wajarlah. Mereka kan single, banyak duit" Senna menanggapi seadanya
"Gak wajar kalo lo denger gosipannya" Vita bergidik tiba-tiba, "Ih, jijik banget gue denger mereka"
Senna memainkan sedotannya, "Tapi, Vit. Lo kan digaji pake duit mereka..."
"Ih....." Vita mencebik seketika