Minggu pertama Sean tanpa menemukan Senna di apartementnya terasa agak aneh. Mereka terbiasa berempat di sana. Tapi sekarang hanya ada ke dua anaknya dengan keributan mereka memperebutkan entah apa yang membuat Sean bertambah pusing.
Lutfi mengajaknya bicara seputar bisnis mereka dan prianitu menghindari pertemuan dengan Senna. Sean menghargai keputusan Senna untuk tidak lagi saling terlibat urusan masing-masing karena sekarang Senna sudah memiliki tunangan.
Heh, sudah seperti orang yang putus cinta saja.
Sean sendiri tidak sulit melupakan hal-hal yang dia lakukan bersama Senna. Karena toh kedekatan mereka berdasarkan pada keuntungan masing-masing. Waktu yang mereka habiskan juga tidaklah lama.
Hanya saja, laki-laki tetaplah laki-laki. Dan Sean adalah pria normal yang sudah terlalu lama tidak dibelai wanita. Mengenal sex di usia yang terbilang sangat muda membuat diri Sean ketagihan akan sensasi yang hanya dia bisa dapatkan bersama seorang perempuan.
Terutama dengan perempuan yang kegadisannya dia rampas. Sean jadi sedikit senewen semenjak tidak ada perempuan yang bisa memuaskannya di ranjang. Menyewa perempuan yang ada di tempat karaoke atau bar tidak banyak membantu karena Sean tidak suka perempuan yang membagikan diri mereka ke laki-laki lain.
Semenjak menemukan Senna, Sean sudah terbiasa untuk menikmatinya sendiri. Terlebih perempuan itu yang tampak sangat menikmati kegiatan mereka setiap kali mereka bercinta.
Minggu ke empat Sean memilih berlibur dari kegiatan malamnya dan menghabiskan waktu bersama kedua anaknya. Sayangnya Ares dan Febi adalah tipe anak remaja bandel yang senang mengejek Papa mereka. Tidak membantu sama sekali karena bukannya menghibur, anak kembar itu membuat Sean menguras habis tabungannya karena mereka memecahkan tanpa sengaja chandelier di salah satu toko furniture.
Minggu ke tujuh, Sean hampir seperti seorang biksu suci yang bertapa ke gunung. Ini adalah rekor terlama Sean tidak bercinta dengan perempuan dan membuat Lutfi menjadi sedikit khawatir apakah sepupunya ini menderita suatu penyakit sampai dia bertaubat mendadak.
Minggu ke delapan, Sean menemukan Senna sendirian. Pria itu tampak tidak ingin menyapa Senna tapi ternyata Senna sendiri yang menyapa Sean terlebih dahulu. Mereka berjalan beriringan.
"Pak Sean sehat-sehat aja?" Tanya Senna dengan canggung
Boleh Senna bilang kalau dia merasa bersalah pada Sean? Semenjak terakhir kali bertemu dengan Sean, ralat. Bicara terakhir kali dengan Sean, perempuan itu hanya menyapa sekilas Sean dan selebihnya melihat Sean dari jauh.
Pria itu sudah tidak pernah datang ke kantor bosnya. Membuat Senna bertanya-tanya apakah pria itu baik-baik saja atau tidak. Senna sedikit kepikiran semenjak mengetahui alasan kenapa Sean memiliki dua anak diusianya yang masih sangat muda.
Ditambah lagi minggu lalu Lutfi mengatakan hal yang cukup mengejutkan ketika pria itu menelpon seseorang. Lutfi menyebut-nyebut Sean dan kemudian mengatakan tanpa sengaja kalau orang tua Sean sama sekali tidak ingin bertemu pria itu dan meminta Senna mengatur jadwal reservasi di restaurant dengan jam yang berbeda.
Dari terakhir kali bertemu, pria itu tampak baik-baik saja. Sean bahkan mengangguk dan tersenyum sekarang, "Sehat. Kenapa?"
"Ya..." Senna memperhatikan sekelilingnya yang cukup sepi dan kemudian berkata tanpa melirik Sean, "Cuma basa-basi abisnya lo tiba-tiba ngejauh kayak kita putus aja..."
Sean terkekeh, "Putus? Gila aja gue sama lo gak ada hubungan kayak gitu, ngaco aja kayak Ares..."
"Ck..." Senna menggerutu pelan kemudian menoleh dengan kesal, "Ares tiap hari main ke rumah tuh katanya gak dikasi makan sama bapaknya..."
"Kampret. Padahal tiap hari minta duit hampir sejuta, nanti gue marahin..." Sean memutar tubuhnya untuk menghadap perempuan disampingnya itu, "Anyway kayaknya bahagia sama Elang..."
Senna melirik Sean dengan ekor matanya. Mereka menghentikan langkah dan kemudian saling diam untuk beberapa detik. "Life must go on, Se"
"Iya, bener juga lo..." pria itu menganggukkan kepalanya menghela nafas panjang sampai kemudian menatap Senna cukup bingung karena pertanyaan sederhana Senna kepada dirinya
"Lo baik-baik aja, kan?"
Sean mengerjap. Perempuan ini tampak khawatir kepada dirinya. Dan nada bertanya yang Senna gunakan terkesan peduli pada dirinya. "Baik. Kenapa? Gue kayak orang gila emang?"
Bukannya menjawab pertanyaan Sean, Senna memilih menghela nafas. Kalau sudah begini dia merasa mirip dengan Sean. Bedanya hanya, orang tua Senna masih mau mengakui Senna. Bukannya mengusir seperti yang orang tua Sean lakukan pada pria itu. Bahkan mengingat Lutfi yang memesan restaurant dalam waktu yang berbeda membuat Senna meringis.
Pria ini baik. Sebentar, sejak kapan Senna memikirkan hal seperti ini?
Berbanding terbalik dengan Sean yang kebingungan karena Senna tiba-tiba saja menggigit bibir sambil menatap dirinya. Tuhan, Sean tiba-tiba menelan ludah sendiri. Runtuh sudah pertahanannya selama berminggu-minggu puasa demi menjadi pria yang lebih baik.
"Sean gue..." ucapan perempuan itu terhenti ketika Sean menariknya dan melumat dengan kasar bibir Senna