Senna memilih merenungkan pembicaraannya dengan Elang selama menunggu Sean datang. Pria itu bahkan mengantarnya ke Royal ketika Senna mengatakan akan mengakhiri semuanya malam ini dengan Sean.
Tuhan, kalau dia bukan jodohnya, Senna akan berdoa sebanyak mungkin untuk Elang agar mendapatkan perempuan baik yang akan mendampingin pria itu selama di dunia juga akhirat. Bahkan Senna rela berdoa agar pria itu dipersatukan dengan keluarganya di akhirat nanti.
Sean datang dengan kedua tangannya berada di saku jas dan senyum mengembang lalu menghampiri Senna dan mendaratkan kecupan hangat di pipi perempuan itu.
Sayangnya, Senna tidak merespon dan hanya diam menatap Sean. "Elang tau..."
Wajah Sean mendadak kaku dan pria itu menelan ludah untuk menenangkan dirinya, "Maksudnya? Dia tau tentang lo sama gue?"
"Hm..." Senna memilih memeluk Sean dan kemudian menghela nafas. Dia bisa merasakan Sean yang mendadak kaku karena perlakuannya, tapi kemudian pria itu membalas pelukannya juga, "Dia ngiranya lo sama gue itu pacaran, Sean. Terus dia minta kita udahan..."
Beberapa detik kemudian, Sean memutuskan melepaskan pelukan Senna dan menghela nafas menatap perempuan yang tampak linglung itu, "So, what? Kita emang mau berhenti, kan? Kita bukan putus yang kayak gitu, ya. Kita cuma nyelesein apa yang harus kita selesein, Sen..."
"Hm..." Senna menganggukkan kepalanya dengan sedih, "Cuma gue ngerasa bersalah aja, gak enak rasanya sama Elang karena gue main kayak gini..."
Sean yang menyadari kemana arah pembicaraan perempuan itu kemudian menelan ludah. Jadi mereka tidak mungkin melakukannya malam ini. Tidak juga lain waktu dan tidak akan ada lain waktu.
Senna mengikuti Sean yang mengambil duduk di sofa yang tadi menjadi tempatnya menunggu. Pria itu kemudian menopangkan dagunya dengan santai dan tersenyum kepada Senna.
"Calon manten malah murung, aneh lo..." kata pria itu dengan tiba-tiba seolah mereka memang sudah berteman dalam waktu yang cukup lama
"Gue gak tau, Se..." Senna menundukkan wajahnya, dia merasa bingung dengan semua hal yang tiba-tiba datang kepada dirinya.
Orang tuanya yang tiba-tiba memiliki hutang sebanyak itu dan mengakibatkan Senna berakhir menjadi seperti ini mengenal Sean. Semua hampir baik-baik saja tapi Mamanya malah membuatnya bertunangan dengan pria sebaik Elang. Mendadak semuanya rumit untuk Senna. Dia merasa tidak pantas untuk Elang. Dan Sean... Dia merasa sudah jahat karena membuat Sean seolah seperti orang jahat jika semua orang mengetahui apa yang dirinya dan Sean lakukan.
"Sean gue minta maaf sama lo..."
Pria itu menatap cukup lama. Senna sudah memandangnya penuh rasa bersalah dan juga tidak tega kepada Sean. Pria itu terkekeh, memangnya apa yang sudah dia lakukan sampai Senna merasa bersalah kepadanya, "You're a good girl, Sen. Orang baik pasti dapet yang terbaik buat dirinya... Jangan pikirin gue, kita sama-sama tau kan kalo ada waktunya kita bakalan tobat..."
Senna ingin tertawa, tapi dia hanya bisa tersenyum canggung mendengar ucapan Sean kepada dirinya.
"Lo yang tobat duluan, sama Elang. Gue mungkin masih lama..." lalu pria itu meringis dan mengulurkan tangannya yang dijabat Senna dengan bingung, "Bye, Nyonya Elang..."
...
Sean tahu kalau akan ada waktunya dia harus melepaskan Senna. Tapi semua ini rasanya tidak benar, ketika Senna memutuskan untuk meninggalkannya dan bersama pria lain.
Ada rasa sedikit tidak rela di dalam hatinya. Dia memang tidak mencintai perempuan itu tapi dia tidak menyukai kenyataan kalau akan ada pria lain yang menyentuh tubuh Senna dan tentu saja Senna kemungkinan akan jatuh cinta dengan pria itu.
Dia tidak suka memikirkannya. Semua kemungkinan yang tiba-tiba saja datang kepadanya setelah perempuan itu meninggalkannya tadi. Tapi dia bisa apa? Dia tidak bisa menjanjikan Senna seperti perempuan pada umumnya. Lagi pula, mereka sama-sama tidak saling mencintai, menyayangi atau apalah itu.
Sean mengetukkan jarinya kepada kaca jendela besar yang sudah menampakan lampu-lampu ibukota disekitarnya. Kembali mengingatkan dirinya kalau dia hanya bisa memberikan Senna uang dan kepuasan. Lagi pula dia tidak mungkin menyaingi Elang yang tampaknya bisa memberiksan segalanya untuk Senna.
"Hell, kenapa gue kepikiran melodrama begini?"
Karena anak lo bisa nerima Senna
Ya, mungkin itu adalah salah satu penjelasan logis kenapa Sean merasa begitu bodoh sekarang. Dia hanya bisa menaikkan satu sudut bibirnya dan bergumam kecil, "Ck, mau tobat aja adaaaa aja cobaannya. Maaf ya Ares, Febi..." pria itu melirik ponselnya dengan singkat dan kembali memandang keluar jendela, "Maafin Papa yang gak punya pendirian gini..."
"Iya, Pak..."
"Vita, kalau ada yang cari saya. Saya lagi ada urusan tender ke luar kota..."
"Iya, Pak Sean. Sampai kapan ya, Pak? Bapak ada meeting sama..."
"Ah..." Sean menganggukkan kepalanya kemudian kembali berkata kepada Vita yang dia hubungi malam ini, "Pindahin semua meetingnya ke Lutfi, cuma meeting soal gedung, kan? Lutfi aja. Saya perginya lama..."
"Iya, Pak. Ada lagi, Pak?"
Tolong kirim buket bunga ucapan pernikahan buat Senna. "Itu aja, Vit..."