50 menit adalah yang Sean butuhkan untuk menemukan kedua anaknya setelah dia selesai menghindari kejaran anak buah Papanya ketika tiba di Indonesia. Ibu dari anaknya itu sedang menemani suaminya perjalanan bisnis ke salah satu pulau di ujung Indonesia. Sementara ke dua anaknya tidak bersekolah dan berhasil dia temukan dengan keadaan terkejut setengah mati di rumah kediaman ibu mereka.
"PAH JANGAN NABOK FEBI DULU!!!" Seru Ares ketika mendapati ayahnya mendekat dengan kesal dan marah ke arah kakak kembarnya, cowok itu bahkan berlari untuk menahan sang ayah, "Pah, ini salah Ares Pah!"
Sean mendelik ke arah anak lelakinya. "Diem, papa pukulin kamu nanti. Sekarang Febi dulu!"
Febi yang tangannya dicekal oleh Sean hanya bisa diam mengikuti pria itu. Dia tahu kali ini ayahnya marah besar kepada mereka berdua. Tapi Febi yakin, semarah-marah Sean, Papanya tidak mungkin memukul mereka berdua.
Pria itu hanya menarik lengan putrinya untuk duduk di depannya bersamaan dengan Ares yang juga menatap takut kepada Papanya. Sean memang marah, tapi caranya untuk marah memang agak berbeda dari kebanyakan orang.
Kedua anak kembar itu tidak berani mengalihkan pandangannya dari mata sang Papa. Kalau Papanya marah, mereka selalu diajarkan untuk menatap langsung kepada mata Papanya dan membuat anak kembar itu merasa bersalah bukannya tertantang.
Sean tahu kalau dua anaknya ketakutan, terlihat dari si tengil Ares yang bibirnya sudah membiru dan bergetar. Ampun, belum juga dia marah padahal. Tapi anak laki-lakinya itu sudah menciut ketakutan. Pria itu melirik Febi kemudian.
Pias. Wajah putrinya bahkan lebih mengerikan. Anak gadisnya itu mengerjap berusaha melebarkan matanya walaupun Sean yakin, kalau dia mengalihkan pandangan sedikit saja Febi pasti akan berurai air mata dan sesenggukkan sampai kemudian anak gadis itu sesak nafas.
"Kalian tau Papa marah, kan?" Sean mendapatkan anggukkan sebagai jawaban, "Tau apa salah kalian?"
Kedua anak kembar itu mengangguk dengan cepat. Keduanya masih bergetar. Sean sampai ingin mencubit gemas kedua pipi anak remajanya yang sudah tidak gembul lagi itu.
"Kenapa Papa marah?" Sean kemudian berkacak pinggang menatap bergantian anak kembarnya
"Kita uda janji hapus video Papah, tapi...." bibir Febi bergetar dan gadis itu menelan ludahnya. Dia berusaha diam kemudian kembali menjelaskan dengan takut, "Tapi belom kehapus..."
Sean menganggukkan kepalanya. Mencoba menoleh ke Ares yang tiba-tiba kaku menatapnya.
"Kita uda minta maaf, Pah. Kita udah..." Ares membungkam mulutnya dengan takut dan kembali diam beberapa saat. Anak laki-laki itu sudah tidak tahan. Ares menundukkan kepalanya.
Febi menoleh ke saudara kembarnya. Menggenggam tangan Ares dan kemudian ikut terisak karena dia tahu mereka sudah mencemarkan nama baik Papa mereka sendiri dengan cara yang sangat kelewatan.
Pria itu menggelengkan kepalanya. Dia meraih puncak kepala kedua anaknya dan mengusapnya pelan. Sean bahkan menaikkan satu sudut bibirnya ketika kedua tubuh anaknya terkejut dengan perlakuannya.
"Maafin kita, Pa. Kita gak apa-apa kalo Papa gak mau ketemu kita lagi, tapi---"
"Hey..." potong Sean kepada dua anak kembarnya. "Papa marah itu karena takut kakek kalian marah sama kalian..."
Kedua anak kembar itu mengangkat kepala mereka secara bersamaan. Dan lihatlah Sean semakin tidak tega untuk marah kepada anaknya.
"Papa udah biasa sih, dimarah sama kakek kalian. Udah biasa bikin malu juga. Tapi kalo kalian kenapa-napa gimana?" Sean melunakkan suaranya tapi masih dengan nada tegas yang sama, "Papa aja tiba-tiba gak bisa balik kemaren. Kalo kalian yang diapa-apain sama kakek kalian gimana? Kita kan udah janji biar gak cari ribut sama kakek?"
Kedua anak kembarnya mengangguk. Mereka kembali menunduk dan menangis sesenggukkan karena merasa begitu bersalah kepada Sean yang ternyata malah mengkhawatirkan mereka berdua.
"Papa gak ada disini waktu kejadian itu. Papa setengah mati khawatir disana. Untung Mama cepet ambil tindakan bawa kalian..." Sean menghela nafas, "Papa jadi makin khawatir sama masa depan kalian. Lain kali kalian pikirin lagi lebih panjang akibatnya, oke?"
Ares mengangguk, sementara Febi berusaha menghentikan tangisannya.
"Masih ada yang mau temenan sama kalian gak sekarang?" Tanya Sean berusaha membuka pembicaraan lain, "Sandy masih marah sama kalian?"
Febi mengangguk kali ini. Ares diam kemudian mengusapi punggung kakaknya itu sampai kemudian kakaknya bisa bernafas lebih leluasa dibanding sebelumnya.
Sean tersenyum. "Senna itu baik. Papa yang bikin Senna jadi kayak gitu..." pria itu mengusap beberapa kali puncak kepala anaknya, "Papa yang salah. Yang penting sekarang Papa tau kalian baik-baik aja, tapi uang jajan papa potong pokoknya. Gak ada liburan tahun ini..."
Kedua anak kembar itu mengangguk dengan bibir mengerucut ke depan setelah mendengar ucapan Sean.
"Habis ini Papa gak mau tinggal sama kalian..."
"Kok---"
Sean mengangkat telunjuknya. Kedua anaknya semakin cemberut dengan tatapan kesal. "Kasian keluarga Senna itu gara-gara kalian. Papa jadi harus kerja ekstra buat minta maaf sama mereka..."
Ares menganggukkan kepalanya. Dia tidak bisa berbuat banyak sementara Sandy saja masih belum mau bicara kepada mereka berdua.
"Habis ini minta maaf sama Senna, ya?" Pria itu nyaris terkekeh ketika kedua anaknya mengangguk secara bersamaan dan Ares mengusap pucuk hidungnya. Sudah remaja tapi kalau kena tegur mereka seperti anak umur lima tahun saja.